Nama eBook: Ensiklopedi Amaalan di Bulan Rojab
Penulis: Ustadz Abi Ubaidah dan Ustadz Abi Abdillah حفظهما الله
D. PERAYAAN ISRA’ MI’RAJ
Setiap tanggal 27 Rajab, perayaan Isra’ Mi’raj sudah merupakan sesuatu yang tak dapat terlupakan di masyarakat kita sekarang. Bahkan, hari tersebut menjadi hari libur nasional. Oleh karena itu, mari kita mempelajari masalah ini dari dua tinjauan: tinjauan sejarah dan tinjauan syari’at untuk merayakannya.
1. Tinjauan Sejarah Munculnya Perayaan Isra’ Mi’raj
Dalam tinjauan sejarah waktu terjadinya Isra’ Mi’raj masih diperdebatkan oleh para ulama. Jangankan tanggalnya, bulannya saja masih diperselisihkan hingga kini. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i memaparkan perselisihan tersebut dalam Fathul Bari (7/203) hingga mencapai lebih dari sepuluh pendapat!! Ada yang berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Ramadhan, Syawwal, Rabi’ul Awwal, Rabi’uts Tsani … dan seterusnya.
Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i رحمه الله menyebutkan dari az-Zuhri dan Urwah bahwa Isra’ Mi’raj terjadi setahun sebelum Nabi صلى الله عليه وسلم hijrah ke kota Madinah, yaitu bulan Rabi’ul Awwal. Adapun pendapat as-Suddi, waktunya adalah enam belas bulan sebelum hijrah, yaitu bulan Dzulqa’dah. Al-Hafizh Abdul Ghani bin Surur al-Maqdisi membawakan dalam Sirahnya hadits yang tidak shahih sanadnya tentang waktu Isra’ Mi’raj pada tanggal 27 Rajab. Dan sebagian manusia menyangka bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, yaitu malam Ragha’ib, yang ditunaikan pada waktu tersebut sebuah shalat yang masyhur tetapi tidak ada asalnya.1
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Tidak ada dalil shahih yang menetapkan bulan maupun tanggalnya, seluruh nukilan tersebut munqathi’ (terputus) dan berbeda-beda.”2
Bahkan Imam Abu Syamah asy-Syafi’i رحمه الله menegaskan, “Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab. Hal itu menurut ahli hadits merupakan kedustaan yang amat nyata.”3
Dari perkataan para ulama di atas, disimpulkan Isra’ Mi’raj merupakan malam yang agung, namun tidak diketahui waktunya. Agar pembaca memahami masalah ini dengan mudah, saya katakan: “Ada sebagian ibadah yang berkaitan erat dengan waktu, kita tidak boleh melangkahinya, seperti shalat lima waktu. Sebagian ibadah lainnya, Alloh menyembunyikan waktunya dan memerintahkan kita berlomba-lomba mencarinya, seperti malam Lailatul Qadar. Dan ada sebagian waktu yang mulia derajatnya di sisi Alloh namun tidak ada ibadah khusus (seperti shalat dan puasa) untuknya. Oleh karena itu, Alloh menyembunyikan waktunya, seperti malam Isra’ Mi’raj.”4
2. Tinjauan Syari’at
Ditinjau dari segi syari’at, jika memang benar Isra’ Mi’raj terjadi pada 27 Rajab, bukan berarti waktu tersebut harus dijadikan sebagai malam perayaan dengan pembacaan kisah-kisah palsu tentang Isra’ Mi’raj. Bagi seseorang yang tidak mengikuti hawa nafsunya, tidak akan ragu bahwa hal tersebut termasuk perkara bid’ah dalam Islam. Sebab, perayaan tersebut tidaklah dikenal di masa sahabat, tabi’in, dan para pengikut setia mereka. Islam hanya memiliki tiga hari raya; Idul Fitri dan Idul Adha setiap satu tahun, dan hari Jum’at setiap satu minggu. Selain tiga ini, tidak termasuk agama Islam secuil pun.5
Ibnu Hajj رحمه الله berkata, “Termasuk perkara bid’ah yang diada-adakan orang-orang pada malam 27 Rajab adalah….” Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh bid’ah pada malam tersebut seperti kumpul-kumpul di masjid, ikhtilath (campur-baur antara laki-laki dan perempuan), menyalakan lilin dan pelita. Beliau juga menyebutkan, perayaan malam Isra’ Mi’raj termasuk perayaan yang disandarkan kepada agama, padahal bukan darinya.”6
Ibnu Nuhas رحمه الله berkata, “Sesungguhnya perayaan malam ini (Isra’ Mi’raj) merupakan kebidahan besar dalam agama yang diada-adakan oleh saudara-saudara setan.”7
Muhammad bin Ahmad asy-Syafi’i menegaskan, “Pembacaan kisah Mi’raj dan perayaan malam 27 Rajab merupakan perkara bid’ah …. Dan kisah Mi’raj yang disandarkan kepada Ibnu Abbas رضي الله عنه, seluruhnya merupakan kebatilan dan kesesatan. Tidak ada yang shahih, kecuali beberapa huruf saja. Demikian pula kisah Ibnu Sulthan, seorang penghambur yang tidak pernah shalat kecuali di bulan Rajab saja. Namun tatkala hendak meninggal dunia, terlihat padanya tanda-tanda kebaikan. Sehingga saat Rasulullah صلى الله عليه وسلم ditanya perihalnya, beliau menjawab, “Sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh dan berdo’a pada bulan Rajab.” Semua ini merupakan kedustaan dan kebohongan. Haram hukumnya membacakan dan melariskan riwayatnya, kecuali untuk menjelaskan kedustaannya. Sungguh sangat mengherankan kami, tatkala para jebolan al-Azhar membacakan kisah-kisah palsu seperti ini kepada khalayak.”8
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz رحمه الله berkata, “Malam Isra’ Mi’raj tidak diketahui waktu terjadinya. Karena seluruh riwayat tentangnya tidak ada yang shahih menurut para pakar ilmu hadits. Di sisi Alloh-lah hikmah di balik semua ini. Kalaulah memang diketahui waktunya, tetap tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah dan perayaan. Sebab hal itu tidak pernah dilakukan Nabi صلى الله عليه وسلم dan para sahabatnya. Seandainya disyari’atkan, pastilah Nabi صلى الله عليه وسلم menjelaskannya kepada umat, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan….”
Kemudian beliau berkata,
“Dengan penjelasan para ulama beserta dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits
di atas, sudah cukup bagi para pencari kebenaran mengingkari bid’ah malam Isra’
Mi’raj yang memang bukan dari Islam secuil pun …. Sungguh amat menyedihkan,
bid’ah ini meruyak di segala penjuru negeri Islam sehingga diyakini sebagian
orang bahwa perayaan tersebut merupakan agama. Kita berdo’a kepada Alloh Ta’ala
agar memperbaiki keadaan kaum muslimin semuanya dan memberi karunia kepada
mereka berupa ilmu agama dan taufiq serta istiqamah di atas kebenaran.”9
--------------------------------------------------------------------------------
1. al-Bidayah
wan Nihayah (3/108-109) cet. Maktabah al-Ma’arif.
2. Zadul Ma’ad 1/57 oleh Ibnul Qayyim.
3. al-Ba’its ala Inkar Bida’ wal Hawadits hal. 171.
4. Majalah at-Tauhid, Mesir hal. 9 edisi 7 tahun 28, Rajab 1420
H)
5. at-Tamassuk bis Sunnah Nabawiyah (33-34) oleh Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin
6. al-Madkhal 1/294-298 dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah hal.
275-276 oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz at-Tuwaijiri.
7. Tanbihul Ghafilin 379-380.
8. as-Sunan wal Mubtada’at hal. 127.
9. at-Tahdzir minal Bida’ hal. 9 oleh Syaikh Ibnu Baz.
Publisher of the article by : Ibnu Majjah.com
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction
Print Article
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini