Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi?
Written By Rachmat.M.Flimban on Sabtu, 17 Desember 2016 | Sabtu, Desember 17, 2016
Penulis: Ust.
Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi
Kafirkah Kedua
Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan)
Pro kontra masalah status kedua orang tua Nabi akhir-akhir ini menjadi buah
bibir media sosial. Sebagai seorang muslim, mari kita semua menimbangnya dengan
dalil bukan dengan perasaan semata
Pro kontra masalah status kedua orang tua Nabi akhir-akhir ini menjadi buah
bibir media sosial. Sebagai seorang muslim, mari kita semua menimbangnya dengan
dalil bukan dengan perasaan semata. Mari cermati dua hadis yang merupakan
landasan dasar masalah ini:
Dalil pertama:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ
رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِيْ؟ قَالَ: فِي النَّارِ. فَلَمَّا
قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Dari Anas, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, di manakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada?”
Beliau menjawab, “Di neraka.” Ketika orang tersebut menyingkir, maka
beliau memanggilnya lalu berkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”
(HR. Imam Muslim dalam Shahîh-nya (203).
Dalil Kedua:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ a قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ n قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ
حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ
يُؤْذَنْ لِيْ وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِيْ
فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Dari Abu Hurairah berkata, “Nabi pernah menziarahi kubur ibunya, lalu beliau
menangis dan membuat orang yang berada di sampingnya juga turut menangis
kemudian beliau bersabda, ‘Saya tadi meminta izin kepada Rabbku untuk memohon
ampun baginya (ibunya) tetapi saya tidak diberi izin, dan saya meminta izin
kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya (ibunya) kemudian Allah memberiku izin.
Berziarahlah karena (ziarah kubur) dapat mengingatkan kematian.’” (HR. Imam
Muslim dalam Shahîh-nya (976–977).
Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani berkata mengomentari hadits ini:
“Ketahuilah wahai saudaraku seislam bahwa sebagian manusia sekarang dan
sebelumnya juga, mereka tidak siap menerima hadits shahih ini dan tidak
mengimani kandungannya yang menegaskan kufurnya kedua orangtua Nabi.
Bahkan sebagian kalangan yang dianggap sebagai tokoh Islam mengingkari hadits
ini berikut kandungannya yang sangat jelas.
Menurut saya, pengingkaran seperti ini pada hakikatnya juga tertuju kepada
Rasulullah yang telah mengabarkan demikian, atau minimal kepada para imam yang
meriwayatkan hadits tersebut dan menshahihkannya. Dan ini merupakan pintu
kefasikan dan kekufuran yang nyata karena berkonsekuensi meragukan kaum muslimin
terhadap agama mereka, sebab tidak ada jalan untuk mengenal dan memahami agama
ini kecuali dari jalur Nabi sebagaimana tidak samar bagi setiap muslim.
Jika mereka sudah tidak mempercayainya hanya karena tidak sesuai dengan perasaan
dan hawa nafsu mereka maka ini merupakan pintu yang lebar untuk menolak
hadits-hadits shahih dari Nabi. Sebagaimana hal ini terbukti nyata pada
kebanyakan penulis yang buku-buku mereka tersebar di tengah kaum muslimin
seperti al-Ghazali, al-Huwaidi, Bulaiq, Ibnu Abdil Mannan, dan sejenisnya yang
tidak memiliki pedoman dalam menshahihkan dan melemahkan hadits kecuali hawa
nafsu mereka semata.
Dan ketahuilah wahai saudaraku muslim yang sayang terhadap agamanya bahwa
hadits-hadits ini yang mengabarkan tentang keimanan dan kekufuran seseorang
adalah termasuk perkara ghoib yang wajib untuk diimani dan diterima dengan bulat.
Allah berfirman:
الٓمٓ ﴿١﴾ ذَٰلِكَ
ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾
“Alif lâm mîm. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada
mereka” (QS. al-Baqarah [2]: 1–3)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ
وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ
ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَـٰلًۭا مُّبِينًۭا ﴿٣٦﴾
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata” (QS. al-Ahzâb [33]: 36)
Maka berpaling darinya dan tidak mengimaninya berkonsekuensi dua hal yang
sama-sama pahit rasanya.
Pertama: Mendustakan Nabi.
Kedua: Mendustakan para perawi hadits yang terpercaya.
Dan tatkala menulis ini, saya tahu betul bahwa sebagian orang yang mengingkari
hadits ini atau memalingkan maknanya dengan maka yang batil seperti as-Suyuthi
semoga Allah mengampuninya adalah karena terbawa oleh sikap berlebih-lebihan
dalam mengagungkan dan mencintai Nabi, sehingga mereka tidak terima bila kedua
orangtua Nabi seperti yang dikabarkan oleh Nabi, seakan-akan mereka lebih sayang
kepada orangtua Nabi daripada Nabi sendiri!!!” (Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah
no. 2592)
Sebenarnya ucapan para ulama salaf tentang aqidah ini banyak sekali. Namun,
cukuplah kami nukil di sini ucapan al-Allamah Ali bin Sulthan Ali al-Qari,
“Telah bersepakat para ulama salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi’in,
imam empat, dan seluruh ahli ijtihaj akan hal itu (kedua orangtua Nabi di neraka)
tanpa ada perselisihan orang setelah mereka. Adapun perselisihan orang setelah
mereka tidaklah mengubah kesepakatan ulama salaf.” (Adillah Mu’taqad Abi Hanifah
fi Abawai Rasul, hlm. 84).
Kalau ada yang mengatakan bahwa keyakinan/aqidah bahwa kedua orangtua Nabi di
neraka termasuk kurang adab terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Kita jawab:
Beradab
terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang sebenarnya adalah mengikuti
perintahnya dan membenarkan haditsnya, sedang kurang adab terhadap Rasulullah
adalah apabila menyelisihi petunjuknya dan menentang haditsnya. Allah berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُقَدِّمُوا۟ بَيْنَ يَدَىِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ
وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ ﴿١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS. al-Hujurât: 1)
Alangkah
bagusnya perkataan Syaikh Abdurrahman al-Yamani tatkala mengomentari hadits ini,
“Seringkali kecintaan seseorang tak dapat dikendalikan sehingga dia menerjang
hujjah serta memeranginya. Padahal orang yang diberi taufik mengetahui bahwa hal
itu berlawanan dengan mahabbah (cinta) yang disyari’atkan. Wallahul Musta’an”.
Syaikh Abu
Ishaq al-Huwaini berkata, “Termasuk kegilaan, bila orang yang berpegang teguh
dengan hadits-hadits shahih disifati dengan kurang adab. Demi Allah, seandainya
hadits tentang Islamnya kedua orangtua Nabi shahih, maka kami adalah orang yang
paling berbahagia dengannya. Bagaimana tidak, sedangkan mereka adalah orang yang
paling dekat dengan Nabi yang lebih saya cintai daripada diriku ini. Allah
menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan. Tetapi kita tidaklah membangun suatu
ucapan yang tidak ada dalilnya yang shahih. Sayangnya, banyak manusia yang
melangkahi dalil shahih dan menerjang hujjah. Wallahul Musta’an” (Lihat
Majalah at-Tauhîd, Mesir, edisi 3/Rabi’ul Awal 1421 hlm. 37).
***
wreter by :
Rachmat.M.MA, Flimban
Arsip :
Duta Asri Palem 3
Related Articles
Jika Anda menikmati artikel ini tinggal klik disini, atau berlangganan untuk menerima artikel terbaru .
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini