Related categories : Aqidah, akidah, Al-Quran, ikhlas, yusuf
Transcribed on: 30 August 2014,
Diantara pelajaran yang
dapat kita petik dari kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah, ikhlas merupakan
sebab teragapainya berbagai macam kebaikan. Dengan ikhlas pula seorang hamba
akan terjaga dari segala bentuk kekejian atau dosa.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala (setelah Allah
menyebutkan kisah Nabi Yusuf dengan Zulaikha’ , tatkala Zulakha’ merayu Yusuf
untuk melakukan tindakan asusila) :
كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah Kami memalingkan Yusuf dari perbuatan munkar dan keji. Sesungguhnya, Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang ikhlas.” (QS. Yusuf: 24).
Dalam qira’ah lain (red. qira’ah Ibnu Katsir) disebutkan “al-mukhlishin“; huruf “laam” nya berharakat kasrah. Maknanya adalah orang-orang yang dipilih Allah dengan akhlak yang luhur. Karena mereka senantiasa mengingat negeri akhirat.
Kedua makna ini (red. ikhlas dan orang-orang yang dipilih Allah..) saling berkaitan erat, Allah ta’ala memilih mereka karena keikhlasan mereka dalam beribadah kepadaNya.
Oleh karena itu barangsiapa yang ikhlas, ia akan menjadi hamba-hamba pilihan Allah dan Allah akan menyelamatkan dia dari mara bahaya, Allah juga akan menjaga dia dari dosa dan perbuatan keji.(Lihat: Fawaaid mustanbatoh min qisshoti yusuf, hal: 38. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah).
Bagaimana Agar Bisa Ikhlas ?
Bukan perkara mudah memang untuk meraih keikhlasan itu. Namun bukan berarti kemudian kita berpangku tangan tanpa kesungguhan untuk menggapainya. Sufyan Ats Tsauriy pernah mengatakan,
ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي لأنها تتقلب عليَّ
“Tak ada sesuatu yang lebih susah aku obati daripada niatku. Karena niat senantiasa berubah-ubah.”
Kita semua tahu siapa Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah. Seorang alim besar dan ahli ibadah yang hidup di masa tabi’in, tiga generasi emas umat ini yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahua’laihiwasallam. Seorang alim sekelas beliau saja harus berjuang keras dan selalu berjuang untuk untuk bisa ikhlas. Lalu siapalah kita sehingga kita mengabaikan keikhlasan ?! Jadi untuk meraih keikhlasan dibutuhkan kesungguhan dan perjuangan yang besar.
Allah tidak akan membebani hambaNya di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam menggapai keikhlasan serambi memohon taufik dari Allah, maka ia akan menggapai keikhlasan tersebut. Dan betapa indahnya ibadah yang dilakukan karena ikhlas hanya mengharap wajah Allah; tanpa mengharap pujian atau penilaian dari seorang makhlukpun.
Syaikh Abu Umar Abdulaziz An-Nadwa mengatakan,
ومما يعين على تحقيق الإخلاص، أن يعلم المرء أن الضر والنفع بيد الله وحده، وأنه لا أحد غيره يملك شيئا من أمر الدنيا والآخرة إلا بإذنه، وأنه الغني بيده مفاتيح خزائن الملك كله، القوي الذي لا يغلب، العليم الذي لا يعزب عنه شيء في الأرض ولا في السماء، حينئذ فإن العبد يغفل عن رؤية ما سوى الله تعالى، فلا يرى غيره مستحقا للعباده، مالكا للنفع والضر.
“Diantara kiat yang akan membantu seseorang dalam menggapai keikhlasan adalah hendaknya ia menyadari bahwa hanya Allah saja yang mampu mendatangkan kemudharatan dan manfaat. Ia hendaknya juga menyadari bahwa tidak ada satu dzat pun yang menguasai urusan dunia dan akhirat melainkan Dia; kecuali dengan seizinNya (pent. Tentu saja bukan kekuasaan dalam arti yang sebenarnya). Dialah Tuhan yang maha kaya; di tanganNya segala perbendaharaan kerajaan semesta. Dialah Tuhan yang maha kuat; tak terkalahkan. Tuhan yang maha mengetahui; tidak ada sedikitpun perkara di bumi dan di langit yang terluput dari pengetahuanNya.
Jika ia menyadari akan
hal ini, maka sungguh seorang hamba tak akan peduli dengan penilaian selain dari
Allah ta’ala. Ia menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang berhak dutujukan
peribadatannya selain hanya kepada Allah. Sang Penguasa alam semesta. Yang mampu
memberikan kemanfaatan dan kemudharatan..”
(Fawaaid mustanbatoh min qisshoti yusuf, hal: 38, Catatan kaki )
Penulis teringat sebuah nasehat dari seorang guru; Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah. Saat beliau menjelaskan masalah ikhlas ini di masjid Nabawi. Beliau pernah mengatakan, “Apalah yang kita harapkan dari pujian manusia itu ? Seandainya pujian-pujian manusia kita kumpulkan menjadi sebuah buku yang berjilid-berjilid besar, niscaya hal itu tidak akan menambah berat timbangan kita di akhirat kelak. ”
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya mereka menyembah Allah dengan memurnikan peribadatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
Ini pula menjadi bahan instropeksi diri. Di saat seorang hamba begitu mudah terjerumus ke dalam perbuatan dosa, terutama di saat ia sedang sendirian; tak ada seorangpun yang melihatnya. Yang sejatinya saat-saat seperti itulah keikhlasan seorang hamba teruji. Lantas ia terjerumus ke dalam perbuatan dosa, berarti keikhlasan dia selama ini masih perlu dipertanyakan, perlu diperbaiki. Karena kalau memang dia seorang yang ikhlas, maka Allah akan menjaga dia dari perbuatan keji, baik tatkala ramai di hadapan orang maupun sendirian. Itulah tanda daripada kejujuran ikhlas seorang hamba. Dan di zaman yang penuh fitnah ini, betapa kita butuhnya kita akan ikhlas.
Semoga Allah menjadikan seluruh amalan kita baik. Dan menjadi seluruhnya ikhlas karena Allah.
Muraja’ah: Ustadz. Sa’id Yai, Lc. MA.
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction Duta Asri Palem 3
| |
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini