Sebagian orang ada yang berkomentar : ‘semua orang sudah paham tauhid’, atau mengatakan : ‘tauhid sudah ada di hati mereka.’, atau mengatakan : ‘tidak usah berdalam-dalam membahas tauhid.’, atau yang paling parah mengatakan : ‘dakwah tauhid akan memecah belah umat’. Wallahul musta’aan.
Pembaca yang budiman -semoga Allah merahmatimu- salah paham dalam masalah tauhid tentu saja memiliki akibat yang sangat membahayakan manusia. Bagaimana mungkin seseorang bisa merealisasikan tauhid jika pemahamannya tentang tauhid masih simpang siur? Oleh sebab itu pemahaman yang benar tentang tauhid merupakan kebutuhan yang sangat mendesak bagi kita semua, sebagaimana besarnya kebutuhan kita terhadap keikhlasan yang itu merupakan salah satu kunci diterimanya amal-amal kita.
Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat
paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang
hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat
Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar
tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua
nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang
dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan
juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh- dhaalliin)
yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan
termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim)
yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah
pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min
Washaaya Salaf, hal. 44)
Salah Paham tentang Tauhid
Syaikhul Islam mengatakan : ‘Tauhid yang diajarkan oleh para Rasul sesungguhnya mengandung penetapan uluhiyah/peribadahan semata-mata kepada Allah. Hal itu terwujud dengan mempersaksikan bahwa tiada yang berhak disembah kecuali Allah; tidak boleh dipuja kecuali Dia. Tidak boleh dijadikan tempat menggantungkan hati (tawakal) kecuali Dia. Tidak boleh menegakkan loyalitas kecuali karena-Nya. Tidaklah boleh bermusuhan kecuali karena-Nya. Dan tidak boleh beramal kecuali apabila tegak di atas ajaran agama-Nya. Dan tauhid ini juga mengandung kewajiban untuk menetapkan nama-nama dan sifat-sifat (kesempurnaan) yang ditetapkan-Nya bagi diri-Nya sendiri…’
Beliau melanjutkan : ‘Dan bukanlah yang dimaksud dengan tauhid sekedar mencakup tauhid rububiyah saja, yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam, sebagaimana sangkaan sebagian orang dari kalangan ahli kalam/filsafat dan penganut ajaran tashawwuf. Mereka mengira apabila telah berhasil menetapkan tauhid rububiyah itu dengan membawakan dalil atau bukti yang kuat maka mereka telah berhasil menetapkan puncak hakikat ketauhidan…’ (lihat Fathul Majid, hal. 15 dan 16)
Oleh sebab itu jangan heran apabila terdengar komentar dari sebagian orang, ‘Tauhid sudah diyakini orang’ dan semacamnya. Hal itu terjadi karena mereka mengira tauhid itu cukup dengan pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Penguasa dan Pengatur alam semesta. Padahal sebenarnya bukan sekedar ketauhidan semacam itu yang diperintahkan Allah kepada mereka.
Syaikhul Islam mengatakan : ‘Tidaklah setiap orang yang meyakini bahwa Allah adalah Rabb dan pencipta segala sesuatu secara otomatis layak menyandang gelar sebagai hamba (penyembah) Allah.’ Kenapa demikian ? Beliau menjelaskan buktinya : ‘Karena sesungguhnya kaum musyrikin Arab telah mengakui bahwa Allah semata sebagai pencipta segala sesuatu. Meskipun demikian, mereka tetap dianggap sebagai orang-orang musyrik.’ (lihat Fathul Majid, hal. 16)
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Dan tauhid jenis ini (yaitu tauhid rububiyah) telah diakui oleh orang-orang musyrik penyembah berhala. Meskipun kebanyakan dari mereka juga menentang adanya hari kebangkitan dan dikumpulkannya manusia (kelak di hari kiamat). Dan pengakuan ini belumlah memasukkan mereka ke dalam agama Islam karena kesyirikan mereka (dalam beribadah kepada-Nya) dengan menyembah arca dan berhala (disamping menyembah Allah) dan juga karena mereka tidak mau beriman terhadap Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam” (lihat Syarah ‘Aqidah Ath Thahawiyah, hal. 18-19. cet Darul ‘Aqidah)
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :“Apakah kesyirikan yang
dilakukan oleh kaum musyrikin yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di
tengah mereka ?” Maka beliau menjawab, “Apabila dilihat dari sisi kesyirikan
orang-orang musyrik yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di tengah
mereka. Maka sesungguhnya letak kesyirikan mereka bukanlah dalam hal rububiyah.
Karena Al-Qur’an Al-Karim menunjukkan bukti bahwa mereka itu adalah orang-orang
yang mempersekutukan Allah dalam hal ibadah saja. Adapun dalam hal rububiyah,
maka mereka itu beriman bahwa Allah adalah Rabb (pencipta dan pemelihara)
satu-satunya. Mereka juga meyakini bahwa Allah lah yang bisa mengabulkan do’a
orang-orang yang dalam keadaan terjepit. Mereka juga beriman bahwa Allah yang
sanggup menyingkapkan berbagai keburukan dan bahaya, dan mereka juga mengakui
hal-hal yang lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan Allah tentang mereka yaitu
pengakuan mereka terhadap keesaan rububiyah Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi
mereka itu orang-orang yang mempersekutukan Allah dalam peribadahan, yaitu
mereka menyembah sesembahan lain selain menyembah Allah. Dan ini merupakan
kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari agama…” (Fatawa Arkanil Islam, hal.
18)
Mewujudkan tauhid dengan sempurna
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan bahwa makna merealisasikan tauhid ialah memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid’ah dan kemaksiatan (lihat Ibthaalu Tandiid hal. 28) Sehingga untuk bisa merealisasikan tauhid seorang muslim harus :
Meninggalkan kesyirikan
dalam semua macamnya : syirik akbar, syirik ashghar dan syirik khafi
Meninggalkan seluruh bentuk bid’ah
Meninggalkan seluruh bentuk kemaksiatan (At-Tamhiid, hal. 33)
Tauhid benar-benar akan terwujud dengan sempurna pada diri seseorang apabila di dalam dirinya terkumpul tiga perkara, yaitu :
Ilmu, karena tidak mungkin seseorang mewujudkan sesuatu yang tidak diketahuinya. Allah berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya tidak ada sesembahan yang hak selain Allah” (QS. Muhammad : 19)
Keyakinan (I’tiqad). Karena orang yang mengetahui tauhid tanpa meyakininya
adalah orang yang sombong. Maka orang seperti ini tidak akan bisa merealisasikan
tauhid. Hal itu sebagaimana keadaan orang musyrikin Quraisy yang paham makna
tauhid tapi justru menolaknya, sebagaimana dikisahkan oleh Allah di dalam
ayat-Nya,
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“(mereka berkata) Apakah
dia (Muhammad) akan menjadikan tuhan-tuhan yang banyak itu menjadi satu
sesembahan saja. Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan !” (QS.
Shaad : 5)
Ketundukan (Inqiyad). Orang yang telah mengetahui hakikat tauhid dan meyakininya
akan tetapi tidak mau tunduk terhadap konsekuensinya bukanlah orang yang
merealisasikan tauhid. (lihat Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab At- Tauhid, jilid 1
hal. 55)
Semoga Allah memahamkan kita tentang tauhid dan meneguhkan kita di atasnya hingga kematian tiba.
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Publisher of the article by : Muslim.Or.Id
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction
Print Article
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini