Apa yang disampaikan Rosul kepada kalian terimalah, dan apa yang dilarangnya atas kalian tinggalkanlah. (QS. al-Hasyr [59]: 7)
ATURAN KETIGA:
MEMADUKAN ANTARA HADITS-HADITS YANG LAHIRIAHNYA BERTENTANGAN ATAU MENGUATKAN SALAH SATUNYA
Ustadz Abdullah Zaen, MA خفظه الله
Secara asal, dalil-dalil al-Qur'an dan Sunnah
yang shohih tidak akan saling bertentangan. Alloh Ta'ala berfirman:
Andaikan hal tersebut ditemukan; maka itu hanyalah sesuatu yang tampak di mata kita, hakikanya tidaklah demikian. Inilah keyakinan seorang mukmin terhadap hadits-hadits yang shohih. Para ulama telah mengumpulkan dalil-dalil yang lahiriahnya saling bertentangan, lalu mereka membantah adanya kontradiksi tersebut, dengan cara memadukan antara dalil-dalil tersebut atau menguatkan salah satunya, tanpa adanya unsur pemaksaan makna.
Di antara hadits-hadits yang zhohirnya saling bertentangan: hadits yang berisikan larangan menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil dan hadits yang membolehkannya.
Di antara cara yang ditempuh para ulama untuk memadukan antara dua hadits di atas adalah dengan mengatakan bahwa yang terlarang jika dilakukan di tempat terbuka, adapun jika di tempat yang tertutup maka dibolehkan.1
Diantara refererensi vang sangat membantu kita mengetahui hadits-hadits yang zhohirnya bertentangan: Musykil al-Atsar karya ath-Thohawi dan Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits karya Ibnu Qutaibah.
--------------------------------------------------------------------------------
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ
لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
Sekiranya (al-Qur'an) itu bukan dari Alloh,
pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya. (QS. an-Nisa'
[4]: 82) Andaikan hal tersebut ditemukan; maka itu hanyalah sesuatu yang tampak di mata kita, hakikanya tidaklah demikian. Inilah keyakinan seorang mukmin terhadap hadits-hadits yang shohih. Para ulama telah mengumpulkan dalil-dalil yang lahiriahnya saling bertentangan, lalu mereka membantah adanya kontradiksi tersebut, dengan cara memadukan antara dalil-dalil tersebut atau menguatkan salah satunya, tanpa adanya unsur pemaksaan makna.
Di antara hadits-hadits yang zhohirnya saling bertentangan: hadits yang berisikan larangan menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil dan hadits yang membolehkannya.
Di antara cara yang ditempuh para ulama untuk memadukan antara dua hadits di atas adalah dengan mengatakan bahwa yang terlarang jika dilakukan di tempat terbuka, adapun jika di tempat yang tertutup maka dibolehkan.1
Diantara refererensi vang sangat membantu kita mengetahui hadits-hadits yang zhohirnya bertentangan: Musykil al-Atsar karya ath-Thohawi dan Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits karya Ibnu Qutaibah.
--------------------------------------------------------------------------------
- Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits hlm. 90 dan Nailul Author 1/98.
MENGETAHUI HADITS NASIKH (YANG MENGHAPUS HADITS LAIN) DAN MANSUKH (YANG
DIHAPUS OLEH HADITS LAIN)
Penghapusan hadits benar-benar ada. Andaikan
seorang muslim tidak mengetahui hal tersebut, bisa jadi ia terjerumus ke
dalam pengamalan sesuatu yang tidak dibebankan syari'at; sebab kita tidak
diperintahkan untuk mengamalkan hadits-hadits yang telah dihapus.1
Namun demikian, tidak diperbolehkan bagi kita untuk mengklaim adanya penghapusan suatu hadits, kecuali setelah terkumpul dalil-dalil serta bukti-bukti kuat yang menunjukkan hal tersebut.
Di antara referensi yang membantu kita untuk mengetahui hadits-hadits yang telah dihapus: Ithaf Dzawi ar-Rusukh karya al-Ja'bari, an-Nasikh wal Mansukh karya Ibnul Jauzi dan al-I'tibar fin Nasikh wal Mansukh minal Akhbar karya al-Hazimi.
--------------------------------------------------------------------------------
Namun demikian, tidak diperbolehkan bagi kita untuk mengklaim adanya penghapusan suatu hadits, kecuali setelah terkumpul dalil-dalil serta bukti-bukti kuat yang menunjukkan hal tersebut.
Di antara referensi yang membantu kita untuk mengetahui hadits-hadits yang telah dihapus: Ithaf Dzawi ar-Rusukh karya al-Ja'bari, an-Nasikh wal Mansukh karya Ibnul Jauzi dan al-I'tibar fin Nasikh wal Mansukh minal Akhbar karya al-Hazimi.
--------------------------------------------------------------------------------
- Lihat Alfiyyah as-Suyuthi hlm. 22.
ATURAN KELIMA:
MENGETAHUI ASBAB AL-WURUD (SEBAB MUNCULNYA) HADITS
Mengetahui sebab munculnya hadits amat membantu
kita dalam memahami maksud perkataan Rosul صلي الله عليه وسلم.
Di antara contohnya ialah hadits:
Sebagian orang menjadikan hadits di atas sebagai argumentasi untuk menghindari hukum-hukum syari'at yang berkenaan dengan permasalahan ekonomi, hukum perdata, politik, dan yang semisal. Sebab, menurut mereka, hal-hal tersebut merupakan perkara duniawi kami, dan kami lebih memahaminya; Rosululloh صلي الله عليه وسلم telah menyerahkan urusan tersebut pada kami!
Benarkah begitu maksud dari hadits di atas?! Tentu tidak! Buktinya, al-Qur'an dan hadits dipenuhi dalil-dalil yang mengatur urusan mu'amalah antar manusia, semisal: jual beli, kerjasama bisnis, gadai, sewa, pinjam meminjam. Bahkan ayat terpanjang dalam al-Qur'an, ternyata berisikan aturan penulisan hutang piutang!2
Perlu diketahui, bahwa hadits "Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian" telah ditafsirkan oleh sebab munculnya hadits tersebut. Yaitu, kisah penyerbukan pohon kurma, di mana beliau memberikan arahan yang berdasarkan perkiraan agar para petani meninggalkan metode penyerbukan. Mereka pun mengikuti arahan tersebut, namun ternyata justru berakibat buruk bagi hasil buahnya."3 Saat itulah Rosululloh صلي الله عليه وسلم mengeluarkan hadits di atas.
Contoh lainnya yakni hadits:
Sebagian orang keliru dalam memahami hadits ini; sehingga mereka melakukan berbagai jenis bid'ah sebagai sarana untuk bertaqorrub kepada Alloh. Mereka mengira bahwa hal tersebut termasuk bentuk mencontohkan perbuatan baik yang disebut dalam hadits di atas.
Namun, jika mencermati sebab munculnya hadits tersebut, ternyata kita akan mendapatkan bahwa sebabnya adalah suatu hari Nabi صلي الله عليه وسلم memotivasi para sahabatnya untuk bershodaqoh. Datanglah seorang yang membawa uang sekantong besar, sampai-sampai hampir saja kedua tangannya tidak mampu untuk mengangkatnya, lalu ia letakkan di tengah masjid. Setelah itu kaum muslimin berlomba-lomba untuk bershodaqoh. Saat itu berseri-serilah wajah Rosululloh صلي الله عليه وسلم karena gembira. Jadi, menjadikan hadits di atas sebagai argumen bolehnya berbuat bid'ah bisa dipastikan keliru. Bukti terkuat batilnya keyakinan tersebut ada dalam kisah sebab munculnya hadits itu.
Di antara referensi utama ilmu ini: al-Bayan wat Ta'rif fi Asbab Wurud al-Hadits asy-Syarif karya Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi.
--------------------------------------------------------------------------------
Di antara contohnya ialah hadits:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ
دُنْيَاكُمْ
"Kalian lebih mengetahui urusan dunia
kalian."1 Sebagian orang menjadikan hadits di atas sebagai argumentasi untuk menghindari hukum-hukum syari'at yang berkenaan dengan permasalahan ekonomi, hukum perdata, politik, dan yang semisal. Sebab, menurut mereka, hal-hal tersebut merupakan perkara duniawi kami, dan kami lebih memahaminya; Rosululloh صلي الله عليه وسلم telah menyerahkan urusan tersebut pada kami!
Benarkah begitu maksud dari hadits di atas?! Tentu tidak! Buktinya, al-Qur'an dan hadits dipenuhi dalil-dalil yang mengatur urusan mu'amalah antar manusia, semisal: jual beli, kerjasama bisnis, gadai, sewa, pinjam meminjam. Bahkan ayat terpanjang dalam al-Qur'an, ternyata berisikan aturan penulisan hutang piutang!2
Perlu diketahui, bahwa hadits "Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian" telah ditafsirkan oleh sebab munculnya hadits tersebut. Yaitu, kisah penyerbukan pohon kurma, di mana beliau memberikan arahan yang berdasarkan perkiraan agar para petani meninggalkan metode penyerbukan. Mereka pun mengikuti arahan tersebut, namun ternyata justru berakibat buruk bagi hasil buahnya."3 Saat itulah Rosululloh صلي الله عليه وسلم mengeluarkan hadits di atas.
Contoh lainnya yakni hadits:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ
"Barang siapa mencontohkan hal baik dalam
Islam; niscaya ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala yang mengamalkannya
sesudah dia."4 Sebagian orang keliru dalam memahami hadits ini; sehingga mereka melakukan berbagai jenis bid'ah sebagai sarana untuk bertaqorrub kepada Alloh. Mereka mengira bahwa hal tersebut termasuk bentuk mencontohkan perbuatan baik yang disebut dalam hadits di atas.
Namun, jika mencermati sebab munculnya hadits tersebut, ternyata kita akan mendapatkan bahwa sebabnya adalah suatu hari Nabi صلي الله عليه وسلم memotivasi para sahabatnya untuk bershodaqoh. Datanglah seorang yang membawa uang sekantong besar, sampai-sampai hampir saja kedua tangannya tidak mampu untuk mengangkatnya, lalu ia letakkan di tengah masjid. Setelah itu kaum muslimin berlomba-lomba untuk bershodaqoh. Saat itu berseri-serilah wajah Rosululloh صلي الله عليه وسلم karena gembira. Jadi, menjadikan hadits di atas sebagai argumen bolehnya berbuat bid'ah bisa dipastikan keliru. Bukti terkuat batilnya keyakinan tersebut ada dalam kisah sebab munculnya hadits itu.
Di antara referensi utama ilmu ini: al-Bayan wat Ta'rif fi Asbab Wurud al-Hadits asy-Syarif karya Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi.
--------------------------------------------------------------------------------
- HR. Muslim Kitab al-Manaqib no. 2363
- Lihat QS. al-Baqoroh [2]: 282.
- Kaifa Nata'amal Ma'a as-Sunnah hlm. 125-127.
- HR. Muslim Kitab az-Zakat: Bab al-Hats 'ala ash-Shodaqoh 4/2801, 2802.
MENGENAL KOSA KATA HADITS
Rosululloh صلي الله عليه وسلم adalah orang Arab
yang paling fasih. Beliau berkomunikasi dengan para sahabatnya menggunakan
bahasa Arab yang jelas dan mudah dipahami mereka; sebab mereka adalah orang
Arab asli yang belum terkontaminasi bahasa asing. Sehingga mereka tidak
kesusahan untuk memahami perkataan Rosul صلي الله عليه وسلم.
Namun, dengan berjalannya waktu dan berbaurnya umat manusia antara orang Arab dan non-Arab, bahasa Arab mereka melemah dan cenderung menjauh dari praktik berbahasa Arab fasih. Sebagai akibatnya, tidak sedikit di antara mereka yang kesulitan memahami banyak hadits karena ketidakpahaman mereka akan makna kosa kata hadits-hadits tersebut.
Dari sinilah para ulama berlomba mengarang buku-buku yang bermuatan ilmu ini, yakni ilmu kosakata hadits. Jika seorang ulama, pencari ilmu, atau kaum muslimin secara umum berkeinginan untuk memahami hadits Nabi صلي الله عليه وسلم dengan benar, hendaklah ia merujuk buku-buku tersebut. Di antara referensi ilmu ini: Ghorib al-Hadits karya al-Harawi, Ghorib al-Hadits karya Abu Ishaq al-Harbi, Ghorib ash-Shohihain karya al-Humaidi dan an-Nihayah fi Ghorib al-Hadits karya Ibnul Atsir. Buku terakhir ini merupakan salah satu referensi terlengkap ilmu kosakata hadits.
Namun, dengan berjalannya waktu dan berbaurnya umat manusia antara orang Arab dan non-Arab, bahasa Arab mereka melemah dan cenderung menjauh dari praktik berbahasa Arab fasih. Sebagai akibatnya, tidak sedikit di antara mereka yang kesulitan memahami banyak hadits karena ketidakpahaman mereka akan makna kosa kata hadits-hadits tersebut.
Dari sinilah para ulama berlomba mengarang buku-buku yang bermuatan ilmu ini, yakni ilmu kosakata hadits. Jika seorang ulama, pencari ilmu, atau kaum muslimin secara umum berkeinginan untuk memahami hadits Nabi صلي الله عليه وسلم dengan benar, hendaklah ia merujuk buku-buku tersebut. Di antara referensi ilmu ini: Ghorib al-Hadits karya al-Harawi, Ghorib al-Hadits karya Abu Ishaq al-Harbi, Ghorib ash-Shohihain karya al-Humaidi dan an-Nihayah fi Ghorib al-Hadits karya Ibnul Atsir. Buku terakhir ini merupakan salah satu referensi terlengkap ilmu kosakata hadits.
Selanjutnya Ikuti Aturan Klik disini Aturan ke tujuh
Silakan menyebarkan risalah ini dalam bentuk apa saja selama menyebutkan sumber, tidak merubah content dan makna serta tidak untuk tujuan komersial
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini