Home » » 1. HADITS TENTANG ZIARAH KUBUR NABI

1. HADITS TENTANG ZIARAH KUBUR NABI

Written By Rachmat.M.Flimban on Jumat, 07 Februari 2014 | Jumat, Februari 07, 2014

Apa yang disampaikan Rosul kepada kalian terimalah, dan apa yang dilarangnya atas kalian tinggalkanlah. (QS. al-Hasyr [59]: 7)

IMAM AN-NAWAWI VS BID'AH
IMAM AN-NAWAWAI رحمه الله MENGKRITISI AMALAN BID'AH
Syaikh Manshur bin Hasan Salman حفظه الله
Disarikan dari Dzail Tuhfah Thalibin fi Tarjamatil Imam Muhyidin karya Ibnu 'Autar. Tahqiq Manshur Hasan Salman, Alih bahasa Abu Faiz Sholahuddin bin Mudasin
Sumber: Majalah Al-Furqon, No. 131 Ed.6 Th.ke-12_1433 H_2012 M
MUQODDIMAH
Imam Nawawi رحمه الله adalah seorang ulama terkemuka yang menghabiskan usianya untuk mempelajari ucapan hamba termulia—yaitu Muhammad صلى الله عليه وسلم.— Hampir seluruh waktunya beliau gunakan untuk mendengarkan hadits-hadits dari lisan pada pembesar ulama di Syam dan meneliti permasalahan-permasalahan pelik dalam sunnah-sunnah Rasul. Beliau sangat konsisten dengan apa yang telah ia ilmui dari al-Kitab dan as-Sunnah. Beliau telah menggabungkan antara ilmu dan amal.
Di masa-masa kehidupannya yaitu pada abad ke-7 Hijriah, beliau banyak menjumpai amalan yang berseberangan dengan sunnah Abul Qasim (Muhammad) صلى الله عليه وسلم. Mereka mengada-adakan ibadah yang tidak ada asalnya dalam agama Allah عزّوجلّ ini (baca: bid'ah). Maka bangkitlah Imam Nawawi رحمه الله karena kecintaan beliau terhadap sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم. Beliau membangunkan manusia dari kelalaiannya dan memperingatkan mereka dari bahaya bid'ah dan para penghasung kesesatan tersebut, seraya mengibarkan seruan untuk tetap teguh berpegang kepada al-Kitab dan as-Sunnah dan menyingkirkan dari selain keduanya.
Berikut beberapa contoh nyata pengingkaran beliau terhadap perbuatan-per-buatan bid'ah yang diada-adakan di masa hidup beliau:

Imam Nawawi رحمه الله ditanya, apakah hadits berikut yang sering didengungkan oleh penduduk Syam adalah sebuah hadits yang shahih, yaitu bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم 'mengatakan':

مَنْ زَارَنِيْ وَزَارَ أَبِيْ إِبْرَاهِيْمَ فِي سَنَةٍ وَاحِدَةٍ ضَمِنْتُ لَهُ عَلَى اللهِ الْجَنَّةَ

"Barangsiapa menziarahiku dan bapakku Ibrahim di tahun yang sama maka kujamin baginya surga."

Mereka juga mengklaim bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم 'mengatakan':

مَنْ حَجَّ فَلْيُقَدِّسْ حَجَّتَةُ فِي سَنَتِهِ

"Barangsiapa menunaikan haji maka hendaklah juga berziarah ke Baitul Maqdis di tahun tersebut. "

Apakah kedua hadits tersebut ada asalnya?

Beliau menjawab, "Dua hadits tersebut adalah hadits yang batil dan maudhu' (palsu), yang tidak ada asalnya. Meski ziarah ke kubur Nabi dan ke Baitul Maqdis1] adalah sebuah keutamaan, tidak hanya khusus bagi para jama'ah haji saja. Seandainya para jama'ah haji tidak berziarah ke tempat tersebut maka hajinya tetap sah."2

Beliau, Imam Nawawi رحمه الله, sangat keras memperingatkan dari periwayatan sebuah hadits yang lemah dan maudhu' (palsu) tanpa disertai penjelasan derajat hadits tersebut. Barangsiapa yang melakukannya berarti ia telah terkena ancaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

"Sesungguhnya berdusta kepadaku (hukumannya) tidak seperti berdusta kepada selainku, barangsiapa berdusta atas namaku maka silakan ambil tempat duduknya di neraka." (HR Bukhari: 1291, Muslim: 3)

Beliau juga menjelaskan bahwa tidak ada bedanya apakah hadits (palsu) itu berkaitan dengan hukum atau bukan, seperti berkaitan dengan masalah targhib (anjuran) dan tarhib (ancaman) maka hukumnya sama. Beliau mengatakan, "Tidak dibeda-bedakan tentang haramnya berdusta atas nama Nabi صلى الله عليه وسلم antara yang berkaitan dengan hukum halal haram atau bukan, seperti targhib dan tarhib ataupun nasihat-nasihat, semuanya hukumnya haram termasuk dosa besar yang paling besar dan kejelekan yang paling jelek dengan berdasarkan ijma' (konsensus) kaum muslimin. Berbeda halnya dengan kelompok Karramiyyah, yaitu sekelompok ahli bid'ah yang memiliki persangkaan batil bahwa boleh memalsukan hadits bila berkaitan dengan masalah targhib dan tarhib, yang kemudian pemahaman ini diikuti oleh orang-orang yang jahil setelahnya yang mengatakan dirinya adalah 'ahli zuhud'. Persangkaan batil tersebut karena didasarkan pada sebuah riwayat dengan ada tambahan lafal, bahwa:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا لِيُضِلَّ بِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

"Barangsiapa berdusta atas namaku 'untuk menyesatkan' maka silakan ambil tempat duduknya di neraka."3

Mereka menganggap dusta yang mereka buat adalah dusta untuk kebaikan, bukan dusta untuk kesesatan/kejelekan Nabi sehingga tidak termasuk dalam larangan di atas. Perbuatan tersebut dan pengambilan dalil tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat jahil dengan kaidah-kaidah syari'at, mereka telah mengumpulkan antara kebodohan dengan kelancangan mengatakan sesuatu tanpa atas dasar ilmu, sehingga mereka menyelisihi firman Allah عزّوجلّ:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا 

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. (QS al-Isra' [17]: 36)

Dan mereka juga menyelisihi ijma' kaum muslimin tentang haramnya berdusta atas nama salah seorang dari kaum muslimin. Bagaimana lagi bila berdusta atas nama Rasulullah صلى الله عليه وسلم?!

Sedangkan persangkaan mereka bahwa dusta ini adalah dusta kebaikan bukan dusta kejelekan maka ini adalah kejahilan terhadap bahasa Arab, dan khithab (kepadanya ditujukan pembicaraan) syar'i.

Adapun sandaran syubhat mereka kepada riwayat yang ada tambahan tersebut, maka para ulama telah menjawabnya. Yang paling baik dari jawaban mereka adalah bahwa:

Pertama: Tambahan lafal لِيُضِلَّ بِهِ adalah tambahan batil yang para ahli hadits sepakat akan batilnya tambahan tersebut.

Kedua: Jawaban dari Imam Abu Ja'far ath-Thahawi, beliau mengatakan, "Seandainya tambahan lafal itu benar maka justru itu memperkuat larangan dari berdusta atas nama Nabi صلى الله عليه وسلم pada seluruh keadaan, karena lafal tersebut sejalan dengan ayat Allah عزّوجلّ:

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ 

Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? (QS al-An'am [6]: 144)

Ketiga: Bahwa lam pada kataلِيُضِلَّ  bukan lam ta'lil yang menerangkan sebab/tujuan, melainkan disebut lam ash-shairurah atau lam al-'aqibah, maknanya adalah bahwa akibat dari kedustaan tersebut dapat menyesatkan manusia. Yang semisal dengan ini adalah apa yang tercantum dalam ayat Allah عزّوجلّ berikut:

فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا 

Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia (Musa) menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. (QS al-Qashash [28]: 8)

Dalam ayat ini lam bukan lam ta'lil (menerangkan sebab) karena keluarga Fir'aun tatkala memungut Musa عليه السلام yang terhanyut di Sungai Nil bukan untuk menjadikannya sebagai musuh, melainkan sebagai penyejuk pandangan. Namun, akibat dari hal tersebut justru kemudian ia menjadi musuh baginya. Dan ayat yang semisal dengannya sangatlah banyak.

Keempat: Meriwayatkan sebuah hadits yang maudhu' (palsu) padahal ia mengetahui derajat hadits tersebut hukumnya haram. Maka barangsiapa yang tidak menjelaskan derajat hadits tersebut, ia tervonis dengan ancaman dari berdusta atas nama Nabi صلى الله عليه وسلم. Yang menunjukkan akan hal ini adalah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

"Barangsiapa menceritakan hadits dariku yang dia tahu bahwa itu dusta maka berarti ia adalah salah satu dari dua pendusta." (HR Muslim 1/9)4

--------------------------------------------------------------------------------
  1. Tidak boleh melakukan perjalanan dalam rangka ziarah kubur al-Khalil Ibrahim. Bila telah berada dekat dengan kuburnya maka boleh berziarah kepadanya, namun dengan tidak mengadakan perjalanan jauh untuk ke kubur.
  2. Fatawa Imam Nawawi hlm. 266 dan 267
  3. Hadits mungkar dengan adanya tambahan lafal tersebut (lihat adh-Dha'ifah: 1011).
  4. Lihat Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim 1/70-71.
Dikutip dari eBook Ibnumajjah.wordpress.com / Ibnumajjah.com

Silakan menyebarkan risalah ini dalam bentuk apa saja selama menyebutkan sumber, tidak merubah content dan makna serta tidak untuk tujuan komersial

Print Friendly and PDFPrint Article
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini

Total Tayangan Halaman

Translate to your language


Negara Pengunjung

Flag Counter

KALENDER HIJRIYAH



 
Support : Link Palem 3 | Al Islam | 4 Muslim
Copyright © 2013. Mushola Nurul Iman - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger
-->