Imam Nawawi رحمه الله ditanya, apakah hadits berikut yang sering didengungkan oleh penduduk Syam adalah sebuah hadits yang shahih, yaitu bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم 'mengatakan':
"Barangsiapa menziarahiku dan bapakku Ibrahim di tahun yang sama maka kujamin baginya surga."
Mereka juga mengklaim bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم 'mengatakan':
"Barangsiapa menunaikan haji maka hendaklah juga berziarah ke Baitul Maqdis di tahun tersebut. "
Apakah kedua hadits tersebut ada asalnya?
Beliau menjawab, "Dua hadits tersebut adalah hadits yang batil dan maudhu' (palsu), yang tidak ada asalnya. Meski ziarah ke kubur Nabi dan ke Baitul Maqdis1] adalah sebuah keutamaan, tidak hanya khusus bagi para jama'ah haji saja. Seandainya para jama'ah haji tidak berziarah ke tempat tersebut maka hajinya tetap sah."2
Beliau, Imam Nawawi رحمه الله, sangat keras memperingatkan dari periwayatan sebuah hadits yang lemah dan maudhu' (palsu) tanpa disertai penjelasan derajat hadits tersebut. Barangsiapa yang melakukannya berarti ia telah terkena ancaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
"Sesungguhnya berdusta kepadaku (hukumannya) tidak seperti berdusta kepada selainku, barangsiapa berdusta atas namaku maka silakan ambil tempat duduknya di neraka." (HR Bukhari: 1291, Muslim: 3)
Beliau juga menjelaskan bahwa tidak ada bedanya apakah hadits (palsu) itu berkaitan dengan hukum atau bukan, seperti berkaitan dengan masalah targhib (anjuran) dan tarhib (ancaman) maka hukumnya sama. Beliau mengatakan, "Tidak dibeda-bedakan tentang haramnya berdusta atas nama Nabi صلى الله عليه وسلم antara yang berkaitan dengan hukum halal haram atau bukan, seperti targhib dan tarhib ataupun nasihat-nasihat, semuanya hukumnya haram termasuk dosa besar yang paling besar dan kejelekan yang paling jelek dengan berdasarkan ijma' (konsensus) kaum muslimin. Berbeda halnya dengan kelompok Karramiyyah, yaitu sekelompok ahli bid'ah yang memiliki persangkaan batil bahwa boleh memalsukan hadits bila berkaitan dengan masalah targhib dan tarhib, yang kemudian pemahaman ini diikuti oleh orang-orang yang jahil setelahnya yang mengatakan dirinya adalah 'ahli zuhud'. Persangkaan batil tersebut karena didasarkan pada sebuah riwayat dengan ada tambahan lafal, bahwa:
"Barangsiapa berdusta atas namaku 'untuk menyesatkan' maka silakan ambil tempat duduknya di neraka."3
Mereka menganggap dusta yang mereka buat adalah dusta untuk kebaikan, bukan dusta untuk kesesatan/kejelekan Nabi sehingga tidak termasuk dalam larangan di atas. Perbuatan tersebut dan pengambilan dalil tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat jahil dengan kaidah-kaidah syari'at, mereka telah mengumpulkan antara kebodohan dengan kelancangan mengatakan sesuatu tanpa atas dasar ilmu, sehingga mereka menyelisihi firman Allah عزّوجلّ:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. (QS al-Isra' [17]: 36)
Dan mereka juga menyelisihi ijma' kaum muslimin tentang haramnya berdusta atas nama salah seorang dari kaum muslimin. Bagaimana lagi bila berdusta atas nama Rasulullah صلى الله عليه وسلم?!
Sedangkan persangkaan mereka bahwa dusta ini adalah dusta kebaikan bukan dusta kejelekan maka ini adalah kejahilan terhadap bahasa Arab, dan khithab (kepadanya ditujukan pembicaraan) syar'i.
Adapun sandaran syubhat mereka kepada riwayat yang ada tambahan tersebut, maka para ulama telah menjawabnya. Yang paling baik dari jawaban mereka adalah bahwa:
Pertama: Tambahan lafal لِيُضِلَّ بِهِ adalah tambahan batil yang para ahli hadits sepakat akan batilnya tambahan tersebut.
Kedua: Jawaban dari Imam Abu Ja'far ath-Thahawi, beliau mengatakan, "Seandainya tambahan lafal itu benar maka justru itu memperkuat larangan dari berdusta atas nama Nabi صلى الله عليه وسلم pada seluruh keadaan, karena lafal tersebut sejalan dengan ayat Allah عزّوجلّ:
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? (QS al-An'am [6]: 144)
Ketiga: Bahwa lam pada kataلِيُضِلَّ bukan lam ta'lil yang menerangkan sebab/tujuan, melainkan disebut lam ash-shairurah atau lam al-'aqibah, maknanya adalah bahwa akibat dari kedustaan tersebut dapat menyesatkan manusia. Yang semisal dengan ini adalah apa yang tercantum dalam ayat Allah عزّوجلّ berikut:
Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia (Musa) menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. (QS al-Qashash [28]: 8)
Dalam ayat ini lam bukan lam ta'lil (menerangkan sebab) karena keluarga Fir'aun tatkala memungut Musa عليه السلام yang terhanyut di Sungai Nil bukan untuk menjadikannya sebagai musuh, melainkan sebagai penyejuk pandangan. Namun, akibat dari hal tersebut justru kemudian ia menjadi musuh baginya. Dan ayat yang semisal dengannya sangatlah banyak.
Keempat: Meriwayatkan sebuah hadits yang maudhu' (palsu) padahal ia mengetahui derajat hadits tersebut hukumnya haram. Maka barangsiapa yang tidak menjelaskan derajat hadits tersebut, ia tervonis dengan ancaman dari berdusta atas nama Nabi صلى الله عليه وسلم. Yang menunjukkan akan hal ini adalah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
"Barangsiapa menceritakan hadits dariku yang dia tahu bahwa itu dusta maka berarti ia adalah salah satu dari dua pendusta." (HR Muslim 1/9)4
--------------------------------------------------------------------------------
- Tidak boleh melakukan perjalanan dalam rangka ziarah kubur al-Khalil Ibrahim. Bila telah berada dekat dengan kuburnya maka boleh berziarah kepadanya, namun dengan tidak mengadakan perjalanan jauh untuk ke kubur.
- Fatawa Imam Nawawi hlm. 266 dan 267
- Hadits mungkar dengan adanya tambahan lafal tersebut (lihat adh-Dha'ifah: 1011).
- Lihat Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim 1/70-71.
Silakan menyebarkan risalah ini dalam bentuk apa saja selama menyebutkan sumber, tidak merubah content dan makna serta tidak untuk tujuan komersial
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini