Menyikapi Demo Buruh dengan Bijak
Written By Rachmat.M.Flimban on Senin, 28 November 2016 | Senin, November 28, 2016
Kewajiban Buruh Dalam Islam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du:
flashdisk Yufid.TV di HP Maraknya
demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh dalam menuntut haknya perlu
ditanggapi dengan bijak. Permasalahan ini harus dilihat dari dua sisi; dari sisi
pemilik usaha atau majikan dan dari sisi pegawai atau buruh. Dalam tulisan
sebelumnya kami telah membahas permasalahan ini dari sudut pandang kewajiban
para pelaku usaha terhadap para pekerja atau buruh mereka, berikut ini adalah
pembahasan dari sisi kewajiban para pegawai atau buruh.
Kaidah baku yang menjadi acuan dalam hal
ini adalah sebuah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا
شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، وَأَحَلَّ حَرَامًا
“Setiap muslim harus menyesuaikan diri
dengan kesepakatan yang dia setujui. Kecuali kesepakatan yang mengharakan yang
halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).
Seorang mukmin dalam berinteraksi dengan
sesama, tidak bisa lepas dari dua aturan: aturan syariat dan aturan yang dibuat
bersama. Keduanya mengikat, dan tidak boleh saling bertentangan. Jika sampai
terjadi pertentangan, maka aturan syariat, lebih diunggulkan. Sebaliknya, ketika
di sana tidak ada aturan syariat yang mengikat, kedua belah pihak boleh membuat
aturan lainnya sesuai dengan kesepakatan.
Agar lebih mudah dipahami, berikut
bebarapa contoh terkait penerapan kaidah di atas.
Dalam perusahaan X, ditetapkan aturan
bahwa setiap karyawan wajib masuk jam 08.00, pulang jam 16.00. Anda jangan
bertanya, mana dalil aturan ini? Karena jelas, aturan ini tidak ada dalam
Alquran dan sunah. Meskipun demikian, setiap karyawan yang sepakat dengan aturan
ini, wajib mentaatinya. Karena aturan ini, 100% tidak mengandung unsur
menghalalkan apa yang diharamkan atau mengharamkan apa yang dihalalkan.
Di belahan bumi yang lain, ada perusahaan
Z. Perusahaan ini punya aturan, setiap karyawati wajib melepas jilbab. Jelas
aturan ini bertentangan dengan syariat, karena termasuk menghalalkan apa yang
Allah haramkan. Di bagian inilah, karyawan boleh menuntut perusahaan. Dan jika
pihak perusahaan tidak mengindahkan, tetap memaksa karyawati untuk lepas jilbab,
maka dia wajib keluar dari perusahaan tersebut.
Terkait hak dan kewajiban dalam
berinteraksi dengan orang lain, terkadang ada model manusia yang hanya semangat
dalam menuntut hak, tapi malas dalam menunaikan kewajiban. Perbuatan ini
diistilahkan dengan tathfif, orangnya disebut muthaffif.
Model manusia semacam ini telah Allah
singgung dalam Alquran, melalui firman-Nya:
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (١) الَّذِينَ
إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ
وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
(٣)
“Celakalah para muthaffif. Merekalah orang yang ketika membeli barang yang
ditakar, mereka minta dipenuhi. tapi apabila mereka menakar atau menimbang untuk
orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Mutaffifin: 1 – 3).
Cerita ayat tidak sampai di sini. Setelah Allah menyebutkan sifat mereka,
selanjutnya Allah memberi ancaman keras kepada mereka. Allah ingatkan bahwa
mereka akan dibangkitkan di hari kiamat, dan dilakukan pembalasan setiap
kezaliman.
Para ulama ahli tafsir menegaskan bahwa makna ayat ini bersifat muta’adi.
Artinya, hukum yang berlaku di ayat ini tidak hanya terbatas untuk kasus jual
beli. Tapi mencakup umum, untuk semua kasus yang melibatkan hak dan kewajiban.
Setiap orang yang hanya bersemangat dalam menuntut hak, namun melalaikan
kewajibannya, maka dia terkena ancaman tathfif di ayat ini. (Simak Tafsir As-Sa’di,
hal. 915).
Seorang atasan yang hanya bisa menuntut kewajiban pegawai atau buruhnya,
sementara malas dalam memberikan hak mereka, maka dia terkena ancaman tathfif.
Sebaliknya, pegawai atau buruh yang hanya semangat menuntut haknya, sementara
malas dalam menunaikan kewajibannya, maka dia terancam dengan ayat ini.
Mungkin Anda pernah atau bahkan sering menjumpai ada pegawai, buruh, dan
pekerja lainnya yang ketika bekerja nuansanya malas, datangnya telat, pulangnya
lebih cepat, banyak nganggur sementara pekerjaan menumpuk, mengolor waktu
istirahat, dst. namun di saat musim gaji, tidak boleh telat, harus tepat waktu,
tidak boleh ada yang kurang, harus penuh, harus ada bonus, harus ada tunjangan
ini, itu, harus…harus… dst… siapa pun dia, baik pegawai swasta, pns, dimanapun
berada, jika semangat semacam ini yang dia miliki, berhati-hatilah, bisa jadi
dia terkena ancaman tathfif.
Selanjutnya Anda bisa memahami bahwa disamping Anda berhak untuk mendapatkan
apa yang menjadi hak Anda, perlu juga Anda ingat bahwa Anda punya kewajiban.
Baik kewajiban terkait aturan kerja, kewajiban terkait kuantitas kerja, maupun
kualitas pekerjaan Anda. Semua aturan yang diterapkan di perusahaan Anda, selama
tidak melanggar aturan syariat, itulah kewajiban yang harus Anda penuhi.
Jika Anda menuntut mereka untuk menjadi majikan yang baik, tuntutlah diri
Anda sendiri untuk menjadi pegawai yang baik. Semoga Allah memberkahi kita semua.
Allahu a’lam
Disalin dari tulisan Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Sumber Artikel: konsultasisyariah.com
Arsip :
Duta Asri Palem 3
Print Article
Related Articles
Jika Anda menikmati artikel ini tinggal klik disini, atau berlangganan untuk menerima artikel terbaru .
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini