Related categories : Al-Masaa'il : Politik
Transcribed on: Jumat, 10 Juni 2014
Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ
Mengingat hari Rabu tanggal 9 April nanti[1], negara Indonesia akan mengadakan hajatan besar yaitu Pemilu untuk memilih anggota dewan legislatif, yang akan disusul kemudian pemilu pada 9 Juli 2014 untuk memilih capres dan cawapres. Maka dengan bertawakkal kepada Allah عزوجل, kami ingin menyampaikan beberapa point penting, yang kita berdoa kepada Allah عزوجل agar menjadikan untaian kata nasehat ini ikhlas mengharapkan pahala Allah عزوجل dan menginginkan kemaslahatan bagi para hamba:
-
Sesungguhnya sistem demokrasi bertentangan dengan hukum Islam, karena:
-
Hukum dan undang-undang adalah hak mutlak Allah عزوجل. Manusia boleh membuat peraturan dan undang-undang selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah.
-
Demokrasi dibangun di atas partai politik yang merupakan sumber perpecahan dan permusuhan, sangat bertentangan dengan agama Islam yang menganjurkan persatuan dan melarang perpecahan.
-
Sistem demokrasi memiliki kebebasan yang seluas-luasnya tanpa kendali dan melampui batas dari jalur agama Islam.
-
Sistem demokrasi, standarnya adalah suara dan asiprasi mayoritas rakyat, bukan standarnya kebenaran Al-Qur’an dan as-Sunnah sekalipun minoritas.
-
Sistem demokrasi menyetarakan antara pria dan wanita, orang alim dan jahil, orang baik dan fasik, muslim dan kafir, padahal tentu tidak sama hukumnya.[2]
-
Namun karena di kebanyakan negeri Islam saat ini –termasuk Indonesia- menggunakan sistem demokrasi yang kepemimpinan negeri ditentukan melalui pemilu, maka dalam kondisi seperti ini apakah kita ikut mencoblos ataukah tidak? Masalah ini diperselisihkan para ulama yang mu’tabar tentang boleh tidaknya, karena mempertimbangkan kaidah maslahat dan mafsadat. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh berpartisipasi secara mutlak seperti pendapat mayoritas ulama Yaman karena tidak ada maslahatnya bahkan ada madharatnya[3]. Dan sebagian ulama lainnya berpendapat boleh untuk menempuh madharat yang lebih ringan seperti pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin dan lain-lain [4], karena “Apa yang tidak bisa didapatkan seluruhnya maka jangan ditinggalkan sebagiannya” dan “rabun itu lebih baik daripada buta”.
-
Bagi siapa yang memilih karena mempertimbangkan kaidah: يُخْتَارُ أَهْوَنُ الشَّرَّيْنِ “Menempuh mafsadat yang lebih ringan.” [8] maka hendaknya bertaqwa kepada Allah عزوجل dan memilih partai yang paling mendingan daripada lainnya atau memilih pemimpin yang lebih mendekati kepada kriteria pemimpin yang ideal dalam Islam yaitu al-Qowwiyyu al-Amin, (memiliki skill lagi amanah) [9], juga tentunya yang memiliki perhatian agama Islam yang baik dan memberikan kemudahan bagi dakwah Ahli Sunnah wal Jama’ah.
-
Kami mengajak kepada segenap kaum muslimin di manapun untuk menyibukkan diri dengan amal shalih di saat-saat seperti ini serta memperbaiki amal perbuatan kita.
-
Hendaknya kita semua tidak meremehkan peran dan kekuatan sebuah do’a kepada Allah عزوجل pada saat seperti ini. Marilah kita semua bersimpuh dan munajat kepada Allah عزوجل, agar Allah عزوجل memilihkan kepada kita pemimpin yang ideal dambaan Islam yang bersemangat membela agama dan peduli kepada rakyat, bukan para pemimpin yang hanya berambisi dengan jabatan dan tidak bertaqwa kepada Allah عزوجل.
-
Hendaknya kita mewaspadai dan menjauhi percikan-percikan pemilu dan pelanggaran-pelanggaran terhadap agama ; baik berupa perpecahan, fanatik partai dan golongan, menerima uang suap/sogok [14], terutama “serangan fajar” karena hal itu diharamkan dalam agama dan terlaknat pelakunya.
-
Apapun hasilnya pemilu nanti dan siapapun yang menang dan terpilih sebagai pemimpin, maka marilah kita laksanakan kewajiban kita sebagai rakyat yaitu mendengar dan taat kepadanya sebagaimana ajaran Al-Qur’an dan as-Sunnah, selagi tidak memerintahkan kepada maksiat. Jika memerintahkan kemaksiatan maka tidak boleh untuk didengar dan ditaati namun tetap kita tidak boleh memberontak kepemimpinannya.
Maka seyogyanya bagi kita semua untuk bersikap arif dan bijaksana serta berlapang dada dalam menyikapinya. Marilah kita menjaga ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama Islam) dan menghindari segala perpecahan, perselisihan serta percekcokan karena masalah ijtihadiyyah seperti ini[5].
Alangkah indahnya ungkapan Imam Syafi’i kepada Yunus ash-Shadafi:
يَا أَبَا مُوْسَى ، أَلَا يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, Apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!” [6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga pernah mengatakan:
وَأَمَّا الِاخْتِلَافُ فِي ” الْأَحْكَامِ ” فَأَكْثَرُ مِنْ أَنْ يَنْضَبِطَ وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ وَلَقَدْ كَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا سَيِّدَا الْمُسْلِمِينَ يَتَنَازَعَانِ فِي أَشْيَاءَ لَا يَقْصِدَانِ إلَّا الْخَيْرَ
“Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka banyak sekali jumlahnya. Seandainya setiap dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan Umar Radhiyallahu ‘anhu saja—kedua orang yang paling mulia setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam—mereka berdua berbeda pendapat dalam beberapa masalah, tetapi keduanya tidak menginginkan kecuali kebaikan.”[7]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعِبَادَةُ فِى الْهَرَجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ
“Ibadah di saat fitnah seperti hijrah kepadaku.” [HR. Muslim: 2948]
Marilah kita memperbaiki diri dengan menuntut ilmu syar’i, meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah عزوجل dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, karena pemimpin sejati itu lahir dari rakyat yang sejati.
Dahulu, dikatakan para ulama:
كَمَا تَكُوْنُوْنَ يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Bagaimanapun keadaan kalian (rakyat), maka begitulah keadaan pemimpin kalian.”[10]
Al-Kisah ada seorang khawarij yang datang menemui Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu seraya berkata, “Wahai khalifah Ali, mengapa pemerintahanmu banyak di kritik oleh orang tidak sebagaimana pemerintahannya Abu Bakar dan Umar?!” Sahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu Menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang semisalku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang semisalmu!!” [11]
Dahulu, Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan:
لَوْ كَانَتْ لِيْ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ مَا جَعَلْتُهَا إِلَّا فِي السُّلْطَانِ
“Seandainya saya memiliki doa yang mustajab, maka saya tidak akan peruntukkan kecuali untuk pemimpin.” [12]
Sebagaimana kita berdoa kepada Allah عزوجل agar menyelamatkan kita semua dari fitnah yang menyambar agama dan akal pada saat-saat seperti ini. Abdullah bin Amir bin Rabi’ah berkata: “Tatkala manusia banyak mencela Utsman Radhiyallahu anhu, maka ayahku (sahabat Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu) melakukan shalat malam seraya berdoa: “Ya Allah, jagalah diriku dari fitnah sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shalih.” Maka ayahku tidak keluar (karena sakit) kecuali ketika meninggal dunia”[13].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Allah melaknat pemberi suap dan yang disuap.”
Komite tetap fatwa dan penelitian keislaman kerajaan Arab Saudi telah menfatwakan haram pemberian dan penerimaan hadiah dari calon yang akan ikut pemilihan legislatif, fatwa no. 7245, yang ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz (ketua), yang berbunyi:
Soal: Apakah hukum Islam tentang seorang calon anggota legislatif dalam pemilihan yang memberikan harta kepada rakyat agar mereka memilihnya dalam pemilihan umum?
Jawab : Perbuatan calon
anggota legislatif yang memberikan sejumlah harta kepada rakyat dengan tujuan
agar mereka memilihnya termasuk risywah (suap) dan hukumnya haram[15].
Demikian juga segala bentuk permusuhan dan perpecahan, sangat bertentangan
dengan dalil-dalil agama Islam. Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan:
“Persatuan hati dan persatuan barisan kaum muslimin serta membendung segala
celah perpecahan merupakan tujuan syari’at yang sangat agung dan pokok di antara
pokok-pokok besar agama Islam. Hal ini diketahui oleh setiap orang yang
mempelajari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan
dalil-dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah.” [16]
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَ اْلسَّمْعِ وَ اْلطَّاعَةِ وَ إِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Aku wasiatkan kepada kalian dengan taqwa kepada Allah dan mendengar serta taat (kepada pemimpin) sekalipun dia adalah budak Habsyi (orang berkulit hitam)” [17]
عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan taat.” [HR. Bukhari 13/121, Muslim 3/1469]
Marilah kita semua menjaga stabilitas keamanan negara dan menjaga emosi kita tatkala pilihan kita kalah, karena keamanan adalah sesuatu yang harus kita jaga bersama demi terjaganya nyawa, harta dan agama, lebih daripada hanya sekedar membela dan fanatik kepada pemimpin atau golongan tertentu.
Para ulama mengatakan:
الْمَصْلَحَةُ الْعَامَّةُ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْمَصْلَحَةِ الْخَاصَّةِ
“Kemaslahatan umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan pribadi”[18]
Marilah kita ingat selalu pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita menghindari segala kekacauan dan tidak terlibat/berkecimpung di dalamnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَتَكُونُ فِتَنٌ الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ ، وَالْقَائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْمَاشِي ، وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي ، مَنْ تَشَرَّفَ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ ، فَمَنْ وَجَدَ فِيهَا مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِه
“Akan terjadi fitnah, orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari, barangsiapa yang mencari fitnah maka dia akan terkena pahitnya dan barangsiapa yang menjumpai tempat berlindung maka hendaknya dia berlindung”[19]
Demikianlah beberapa
nasehat penting yang ingin kami sampaikan. Semoga Allah عزوجل menjaga kita semua
dari segala fitnah dan membimbing kita semua ke jalan yang diridhoi-Nya. Ya
Allah berikanlah kepada kami pemimpin yang engkau cintai dan ridhoi untuk
menegakkan agama-Mu dan membela hamba-hamba-Mu dari segala bentuk kezhaliman.
Amin.
Dikoreksi dan setujui
oleh:
Al-Ustadz Aunur Rafiq Ghufran, Lc.
Al-Ustadz Ahmad Sabiq, Lc.
[Disalin dari Majalah Al-Furqon,
Edisi 12, Tahun ke-13/Rojab 1435H. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon
Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim (61153). Telp &
Fax 0313940347, Redaksi 081231976449]
_______
Footnote
[1]. Materi ini dimuat di http://www.konsultasisyariah.com/untaian-nasehat-sebelum-pemilu-2014/
ketika pemilu legislatif menjelang. Kami muat juga di majalah ini agar
manfaatnya lebih luas.
[2]. Bacalah risalah Al-Adlu fi Syari’ah Islam wa Laisa fii Dimoqrotiyyah al-Maz’umah
oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hlm. 36-44
[3]. Lihat Tanwir Zhulumat fi Kasyfi Mafasidi wa Subuhati Al-Intikhobat karya
Syaikh Muhammad bin Abdillah al-Imam
[4]. Lihat penjelasan tentang perbedaan pendapat ulama dan argumen masing-masing
dalam masalah ini di kitab Al-Intikhobat wa Akamuha fil Fiqih Islami hlm. 86-96
karya Dr. Fahd bin Shalih al-’Ajlani, cet. Kunuz Isyibiliya, KSA
[5]. Perlu diketahui bahwa para ulama kita yang membolehkan ikut mencoblos di
Pemilu bukan berarti mendukung sistem demokrasi yang jelas-jelas bertentangan
dengan Islam. Sebagai contoh adalah Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad, beliau
termasuk ulama yang membolehkan jika kemaslahatan menuntut demikian, sekalipun
begitu beliau memiliki sebuah risalah khusus yang mengkritisi sistem demokrasi
yaitu Al-Adlu fi Syari’ah Islam wa Laisa fii Dimoqrotiyyah al-Maz’umah, Keadilan
itu Dalam Hukum Islam Bukan dalam Sistem Demokrasi).
[6]. Dikeluarkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 3/3281, lalu
berkomentar: “Hal ini menunjukkan kesempurnaan akal imam Syafi’i dan kelonggaran
hatinya, karena memang para ulama senantiasa berselisih pendapat.“
[7]. Majmu’ Fatawa 5/408
[8]. Lihat kaidah ini dalam Al-Asybah wa Nadhoir hlm. 87 karya as-Suyuthi, Al-Asybah
wa Nadhoir hlm. 89 karya Ibnu Nujaim, Al-Qowaid Al-Kulliyyah wa Dhowabith Al-Fiqhiyyah
hlm. 183 oleh Dr. Muhammad Utsman Syubair, Al-Mufashol fi Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah
hlm, 369 karya Dr. Ya’qub Ba Husain
[9]. Perhatikan QS. Al-Qoshos: 26. Lihat pula penjelasannya dalam Qowa’id
Qur’aniyyah hlm. 109-113 karya Dr. Abdullah al-Muqbil dan as-Siyasah
Asy-Syar’iyyah hlm. 29-31 karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[10]. Ungkapan ini dijadikan sebagai judul sebuah risalah yang ditulis oleh
Syaikh Abdul Malik Ramadhani al-Jazairi
[11]. Syarh Riyadhus Shalihin 2/36 oleh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
[12]. Al-Barbahari dalam Syarhu Sunnah hlm. 116-117 dan Abu Nuaim dalam Al-Hilyah
8/91-92
[13]. Dikeluarkan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/178-179 dan Al-Hakim 3/358.
[14]. Lihat penjelasan lebih rinci tentang masalah suap/sogok dalam Jarimah
Risywah oleh Dr. Abdullah at-Thariqi
[15]. Fatawa Lajnah Daimah, jilid XXIII, hlm 541.
[16]. Al-Fathur Robbani 6/2847-2848 oleh asy-Syaukani
[17]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/126-127, Abu Dawud 4607, Tirmidzi 2676,
Ibnu Majah 42,43 dll, dishahihkan Al-Albani dalam Irwaul Ghalil 2455
[18]. Al-Muwafaqot 6/123 karya asy-Syathibi
[19]. HR. Bukhari 3601 dan Muslim 2776
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction Duta Asri Palem 3
| |
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini