Fikih Azan (4): Hukum Azan
Para ulama sepakat bahwa kumandang azan itu disyari’atkan. Syari’at yang mulia ini sudah berlangsung sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini.
Lalu para ulama berbeda pandangan dalam hal hukumnya, apakah azan itu wajib ataukah sunnah muakkad? Namun yang shahih, hukum azan adalah fardhu kifayah. Jadi tidak boleh di suatu negeri tidak ada kumandang azan sama sekali.
Dalil yang menyatakan hukum azan adalah fardhu kifayah adalah:
- Azan adalah di antara syi’ar Islam yang besar di mana syi’ar ini tidak pernah ditinggalkan sepeninggal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita tidak pernah mendengar ada satu waktu yang kosong dari azan.
- Kumandang azan dijadikan patokan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah suatu negeri termasuk negeri Islam ataukah tidak. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk dikumdangkan
azan dan mengangkat salah seorang jadi imam. Beliau bersabda,
فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
“Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya mengumandangkan azan untuk kalian dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam. ” (HR. Bukhari no. 631 dan Muslim no. 674).
- Dari Anas bin Malik, ia berkata,
فَأُمِرَ بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَ الأَذَانَ وَأَنْ يُوتِرَ الإِقَامَ
“Maka Bilal diperintah untuk mengumandangkan azan dengan menggenapkan dan mengumandangkan iqamah dengan mengganjilkan” (HR. Bukhari no. 605 dan Muslim no. 378).
- ‘Utsman bin Al ‘Ash berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لاَ يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا
“Angkatlah muazin yang tidak mencari upah dari azannya.” (HR. Abu Daud no. 531 dan An Nasai no. 673. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Yang tepat, hukum azan adalah fardhu kifayah. Tidak boleh jika ada di suatu negeri atau kampung yang tidak ada azan sama sekali. Demikian pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad dan lainnya.
Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa hukum azan adalah sunnah. Namun mereka selanjutnya mengatakan bahwa jika di suatu negeri meninggalkan azan, maka boleh diperangi.
Akan tetapi sebenarnya yang terjadi adalah perselisihan lafzhi. Karena kebanyakan ulama ada yang memaknakan sunnah dengan maksud jika ditinggalkan mendapatkan celaan. Jadi hakekatnya yang terjadi adalah perbedaan lafzhi saja dengan yang berpendapat wajib.
Adapun yang menyatakan hukum azan adalah sunnah yang artinya jika ditinggalkan tidak berdosa dan tidak mendapatkan hukuman, pendapat tersebut adalah pendapat yang keliru.
Karena azan adalah bagian dari syi’ar Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai akan memerangi suatu negeri yang meninggalkan azan, ini jelas menunjukkan wajibnya. Jika waktu Shubuh tiba, lalu dikumandangkan azan, maka negeri tersebut tidak diperangi. Jika tidak ada azan, negeri tersebut baru diperangi. Juga ada hadits dalam sunan Abi Daud dan An Nasai dari Abu Ad Darda’, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِى قَرْيَةٍ وَلاَ بَدْوٍ لاَ تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلاَةُ إِلاَّ قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya serigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).”[1] Allah Ta’ala juga berfirman,
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.” (QS. Al Mujadilah: 19). (Majmu’ Al Fatawa, 22: 64-65).
Semoga bermanfaat. Hanyalah Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H.Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
Disusun di pagi hari penuh berkah, 3 Jumadal Ula 1435 H di Warak, Girisekar
[1] HR. Abu Daud no. 547, An-Nasai no. 838, dan sanadnya dinyatakan hasan oleh An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 344.
كَانَ إِذَا غَزَا بِنَا قَوْمًا لَمْ يَكُنْ يَغْزُو بِنَا حَتَّى يُصْبِحَ وَيَنْظُرَ ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ ، وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu jika akan menyerang satu kaum, beliau tidak memerintahkan kami menyerang pada malam hari hingga menunggu waktu subuh. Apabila azan Shubuh terdengar, maka tidak jadi menyerang. Namun bila tidak mendengarnya, maka ia menyerang mereka.” (HR. Bukhari no. 610 dan Muslim no. 382).
Sumber Artikel :Muslim.Or.Id
Silakan menyebarkan risalah ini dalam bentuk apa saja selama menyebutkan sumber, tidak merubah content dan makna serta tidak untuk tujuan komersial
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini