Segala puji bagi Allah Raab Semesta alam Shalawat dan salam semoga selalu tercurah untuk lelaki mulia yang Dia pilih sebagai penutup para nabi, Muhammad bin Abdillah, untuk menebarkan cahaya Islam.
Pada asalnya kata Khulud bermakna kekal abadi[1]
.
Allah telah memilih kata ini sebagai salah satu kosa kata yang ada dalam al-Qur-an.
Para ulama, salah satunya syaikh Shalih Alu Syaikh, menjelaskan bahwa kata Khulud dalam al-Qur-an memilik dua makna yaitu:
Al khulud al-Abadiy bermakna al khulud yang sifatnya kekal selamanya
Al khulud al-Amadiy bermakna al khulud yang sifatnya terbatas.
Beliau melanjutkan, “Al khulud dalam bahasa dan penggunaannya dalam Al-Qur’an bisa bermakna singgah dalam waktu yang lama.
Jika seseorang singgah dalam yang lama maka dia disebut Khalid.
Demikianlah orang Arab menamai anak mereka dengan kata Khalid dengan harapan akan lama singgah di dunia dan berumur panjang.
Ini bukan bermakna khulud yang artinya abadi tanpa penghujung”.
Kemudian beliau menyebutkan sebuah ayat dalam al-Qur-an sebagai contoh:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya” (QS. An Nisa’: 93)
Mengomentari ayat ini, beliau menjelaskan:
“para ulama Ahlussunnah telah berijma bahwa kata al khulud dalam ayat di atas bukan al khulud yang bersifat abadi karena orang yang melakukan dosa besar akan keluar dari Neraka disebabkan tauhid mereka.”[2]
Sebagian kaum muslimin yang berpahaman takfir menjadikan ayat di atas sebagai salah satu argumen bahwa orang yang melakukan dosa besar jatuh dalam kekafiran dan kekal di neraka.
Tentu pemahaman ini adalah pemahaman yang keliru.
Benar bahwa ulama berbeda pendapat dalam mentakwil ayat di atas namun pada saat yang sama mereka sepakat bahwa tidak benarnya pemahaman Khawarij dan dan Mu’tazilah yang mengkafirkan pelaku dosa besar walaupun mereka bertauhid.[3]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy menukil beberapa ungkapan Ibnul Qayyim rahimahullah yang intinya menegaskan bahwa nash dan ijma para ulama telah menetapkan bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir dan tidak pula kekal dalam neraka. Ini disebabkan mutawatirnya hadits-haditsnya yang mengisyaratkan adanya ‘mawani’ (penghalang seseorang untuk dikafirkan)”[4].
Alhasil, begitu pentingnya memahami nash al-Qur-an maupun hadits berdasarkan penjelasan dan pemahaman para ulama, termasuk pemahaman terhadap kosa kata yang Allah pilih dalam wahyu-Nya.
Dan yang mesti pula diketahui adalah keberadaan ijma terhadap suatu masalah yang dibicarakan karena sesuai dengan kaidah bahwa ijma, sebagai salah satu sumber hukum, akan menghilangkan perselisihan di antara kaum muslimin terlebih dalam masalah pelik.
Sebagai penutup, manhaj salaf adalah sebuah manhaj komprehensif yang menggabungkan banyak dalil dalam membicarakan sebuah persoalan kemudian mensarikan hukum berdasarkan kaidah-kaidah yang teratur. Dari sini kita pahami bahwa mereka tidak mengkafirkn kaum muslimin. Mereka menjaga pertumpahan darah. Tidak seperti ‘pihak lain’ yang mengatasnamakan mengikuti salaf namun semena-mena melontarkan kata ‘kafir’ kepada sesama muslim hingga terjadilah kerusakan di negeri ini.
Semoga Allah selalu mengokohkan kami dan anda dalam sinar hidayah-Nya.
Asrama Lipia Jakarta, Kamis 20 Rabi’i ats-Tsaniy
Catatan Kaki [1] Lihat Kamus Al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir, hal 358, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997. [2] Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah (1/383). [3] Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman fiy Tafsir Kalam al-Mannan, hal 198, Penerbit Dar Ibnul Jauziy, Saudi Arabia [4] IbidSumber Artikel : Muslim.Or.Id
Silakan menyebarkan risalah ini dalam bentuk apa saja selama menyebutkan sumber, tidak merubah content dan makna serta tidak untuk tujuan komersial
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini