Ensiklopedia Maulid Nabi (1): Cinta Kepada Rasul, Dahulu dan Sekarang
Sebagai seorang muslim, mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Hal ini merupakan konsekuensi dari kesaksian kita akan kerasulan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana tidak? melalui beliau lah kita terbebas dari segudang warisan jahiliyah yang telah mengakar begitu lama. Kalau lah tidak karena hidayah Allah, kemudian karena pengorbanan beliau dalam mendakwahkan Islam, niscaya sampai hari ini kita masih terjerat dalam belenggu syirik dan jahiliyah.
Segala puji bagi-Mu ya Allah, atas hidayah dan taufiq yang Kau curahkan kepada kami, dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah padamu ya Rasulullah, atas setiap pengorbananmu demi menegakkan dien ini…
Sungguh, berbicara mengenai kepribadian beliau adalah suatu kenikmatan tersendiri, berkisah tentang pernak pernik kehidupan beliau benar-benar menimbulkan decak kagum dan membesarkan hati…
Beliau lah manusia pilihan yang lahir dari manusia-manusia terpilih. Berbekal hati sanubari yang disucikan dari segala noda dan dosa, beliau beranjak menjadi manusia terhebat sepanjang sejarah. Perilakunya sungguh luar biasa, tak dapat dilukiskan dengan kata-kata… sorot wajahnya benar-benar mencerminkan seorang pemimpin agung yang amat welas kasih terhadap rakyatnya… siapa pun yang menatap wajah beliau pastilah jatuh cinta diliputi perasaan segan karena wibawanya yang demikian besar.
Singkatnya, beliaulah sosok insan kaamil sejati yang tak mungkin ada tandingannya. Maka pantaslah jika para sahabat benar-benar jatuh cinta kepada beliau. Mereka mencintai kekasihnya yang satu ini lebih dari orang tua, anak dan isteri mereka; bahkan lebih dari diri mereka sendiri!
Setiap kegembiraan yang beliau rasakan adalah kegembiraan bagi mereka, dan setiap kesedihan yang beliau rasakan merupakan kesedihan bagi mereka. Mereka ikut sakit tatkala beliau sakit, mereka kelaparan tatkala beliau kelaparan, dan mereka tak dapat tidur sebelum kedua mata beliau terpejam…
Dahulu…
Dahulu, diriwayatkan dari Sayyidina ‘Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, katanya: “Dahulu aku mempunyai seorang tetangga Anshari dari Bani Umayyah bin Zaid, sebuah kabilah yang bermukim di dataran tinggi kota Madinah. Kami berdua senantiasa bergantian mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau hari ini dia yang turun maka keesokannya gantian aku yang turun. Usai turun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kukabarkan kepadanya apa-apa yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hari itu, baik itu berupa wahyu atau lainnya. Demikian pula halnya kalau ia yang turun, ia melakukan hal serupa.
Sebagai lelaki Quraisy, kami adalah orang yang memiliki supremasi terhadap istri-istri kami. Akan tetapi setiba kami di Madinah, kami dapati bahwa orang Anshar adalah orang yang kalah oleh istri-istri mereka. Akibatnya istri-istri kami mulai terpengaruh dengan tabiat wanita Anshar. Pernah suatu ketika aku membentak istriku… tapi ia malah membantah. Aku pun jadi berang begitu tahu ia berani membantahku.
“Mengapa kamu marah atas sikapku, padahal demi Allah, istri-istri Nabi saja berani membantah beliau…?
Bahkan ada di antara mereka yang sampai meninggalkan beliau seharian ini hingga malam…” sanggah istriku.
Aku pun tercengang mendengarnya… “Benar-benar merugilah kalau sampai ada dari istri beliau yang berbuat demikian” gumamku.
Saat itu juga aku menyingsingkan gamisku dan bergegas menuju rumah Hafshah. Setibaku di rumahnya, kukatakan kepadanya:
“Hai Hafshah, benarkah ada diantara kalian yang membikin kesal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seharian ini hingga malam?”
“Benar…” jawabnya.
“Alangkah meruginya kamu kalau begitu… Apa kamu merasa aman dari murka Allah setelah kamu membikin kesal Rasul-Nya, hingga boleh jadi kamu celaka karenanya…? Jangan minta macam-macam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jangan sekali-kali membantahnya atau meninggalkannya. Mintalah kepadaku apa yang kau inginkan dan jangan kamu terpengaruh oleh madumu, karena ia lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yakni Aisyah-”.
Konon ketika itu warga Madinah sedang ramai membicarakan isu santer bahwa Raja Ghassan tengah menyiapkan pasukan berkudanya untuk menyerbu Madinah.
Suatu ketika, tibalah giliran tetanggaku yang Anshari itu untuk turun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di petang harinya, ia mendatangiku sembari menggedor pintu rumahku keras-keras…”Hoi, apa kamu ada di dalam?” teriaknya.
Aku pun tersentak kaget dan bergegas keluar menemuinya… tanpa basa-basi, ia pun langsung memulai pembicaraan:
“Wah, ada perkara besar yang barusan terjadi!”
“Ada apa? Apa Ghassan telah tiba?” tanyaku.
Sebagai seorang muslim, mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Hal ini merupakan konsekuensi dari kesaksian kita akan kerasulan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana tidak? melalui beliau lah kita terbebas dari segudang warisan jahiliyah yang telah mengakar begitu lama. Kalau lah tidak karena hidayah Allah, kemudian karena pengorbanan beliau dalam mendakwahkan Islam, niscaya sampai hari ini kita masih terjerat dalam belenggu syirik dan jahiliyah.
Segala puji bagi-Mu ya Allah, atas hidayah dan taufiq yang Kau curahkan kepada kami, dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah padamu ya Rasulullah, atas setiap pengorbananmu demi menegakkan dien ini…
Sungguh, berbicara mengenai kepribadian beliau adalah suatu kenikmatan tersendiri, berkisah tentang pernak pernik kehidupan beliau benar-benar menimbulkan decak kagum dan membesarkan hati…
Beliau lah manusia pilihan yang lahir dari manusia-manusia terpilih. Berbekal hati sanubari yang disucikan dari segala noda dan dosa, beliau beranjak menjadi manusia terhebat sepanjang sejarah. Perilakunya sungguh luar biasa, tak dapat dilukiskan dengan kata-kata… sorot wajahnya benar-benar mencerminkan seorang pemimpin agung yang amat welas kasih terhadap rakyatnya… siapa pun yang menatap wajah beliau pastilah jatuh cinta diliputi perasaan segan karena wibawanya yang demikian besar.
Singkatnya, beliaulah sosok insan kaamil sejati yang tak mungkin ada tandingannya. Maka pantaslah jika para sahabat benar-benar jatuh cinta kepada beliau. Mereka mencintai kekasihnya yang satu ini lebih dari orang tua, anak dan isteri mereka; bahkan lebih dari diri mereka sendiri!
Setiap kegembiraan yang beliau rasakan adalah kegembiraan bagi mereka, dan setiap kesedihan yang beliau rasakan merupakan kesedihan bagi mereka. Mereka ikut sakit tatkala beliau sakit, mereka kelaparan tatkala beliau kelaparan, dan mereka tak dapat tidur sebelum kedua mata beliau terpejam…
Dahulu…
Dahulu, diriwayatkan dari Sayyidina ‘Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, katanya: “Dahulu aku mempunyai seorang tetangga Anshari dari Bani Umayyah bin Zaid, sebuah kabilah yang bermukim di dataran tinggi kota Madinah. Kami berdua senantiasa bergantian mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau hari ini dia yang turun maka keesokannya gantian aku yang turun. Usai turun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kukabarkan kepadanya apa-apa yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hari itu, baik itu berupa wahyu atau lainnya. Demikian pula halnya kalau ia yang turun, ia melakukan hal serupa.
Sebagai lelaki Quraisy, kami adalah orang yang memiliki supremasi terhadap istri-istri kami. Akan tetapi setiba kami di Madinah, kami dapati bahwa orang Anshar adalah orang yang kalah oleh istri-istri mereka. Akibatnya istri-istri kami mulai terpengaruh dengan tabiat wanita Anshar. Pernah suatu ketika aku membentak istriku… tapi ia malah membantah. Aku pun jadi berang begitu tahu ia berani membantahku.
“Mengapa kamu marah atas sikapku, padahal demi Allah, istri-istri Nabi saja berani membantah beliau…?
Bahkan ada di antara mereka yang sampai meninggalkan beliau seharian ini hingga malam…” sanggah istriku.
Aku pun tercengang mendengarnya… “Benar-benar merugilah kalau sampai ada dari istri beliau yang berbuat demikian” gumamku.
Saat itu juga aku menyingsingkan gamisku dan bergegas menuju rumah Hafshah. Setibaku di rumahnya, kukatakan kepadanya:
“Hai Hafshah, benarkah ada diantara kalian yang membikin kesal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seharian ini hingga malam?”
“Benar…” jawabnya.
“Alangkah meruginya kamu kalau begitu… Apa kamu merasa aman dari murka Allah setelah kamu membikin kesal Rasul-Nya, hingga boleh jadi kamu celaka karenanya…? Jangan minta macam-macam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jangan sekali-kali membantahnya atau meninggalkannya. Mintalah kepadaku apa yang kau inginkan dan jangan kamu terpengaruh oleh madumu, karena ia lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yakni Aisyah-”.
Konon ketika itu warga Madinah sedang ramai membicarakan isu santer bahwa Raja Ghassan tengah menyiapkan pasukan berkudanya untuk menyerbu Madinah.
Suatu ketika, tibalah giliran tetanggaku yang Anshari itu untuk turun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di petang harinya, ia mendatangiku sembari menggedor pintu rumahku keras-keras…”Hoi, apa kamu ada di dalam?” teriaknya.
Aku pun tersentak kaget dan bergegas keluar menemuinya… tanpa basa-basi, ia pun langsung memulai pembicaraan:
“Wah, ada perkara besar yang barusan terjadi!”
“Ada apa? Apa Ghassan telah tiba?” tanyaku.
“Oo.. jauh lebih besar dan lebih mengerikan dari itu… Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menceraikan istri-istrinya!!” katanya.
“Alangkah meruginya si Hafshah kalau begitu… aku telah menduga bahwa hal ini
bakal terjadi…” gumamku…” (HR. Bukhari no 5191)
Lihatlah, bagaimana kehidupan para sahabat sangat terpengaruh dengan rumah
tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagi mereka, penyerbuan pasukan
berkuda Raja Ghassan ke Madinah tidak ada apa-apanya, dibanding kesedihan
mereka atas apa yang terjadi dengan rumah tangga kekasih mereka saat itu.
Raut muka dan kondisi si Anshari tadi seakan mengatakan: “Biarlah Ghassan
menyerbu Madinah dan merampas harta benda yang kami miliki, yang penting
Rasulullah ceria kembali…”
Dahulu, ketika sebagian kaum muslimin terpukul mundur dan
meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Uhud, ada
seorang sahabat yang bernama Abu Thalhah yang berdiri tegar di hadapan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, melindungi beliau dengan perisainya…
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan: Konon Abu Thalhah adalah
seorang pemanah ulung yang busurnya terkenal kuat, dan hari itu ia telah
mematahkan dua atau tiga buah busurnya. Di sampingnya ada seorang lelaki
yang membawa sejumlah anak panah, maka perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepadanya:
“Berikan semua anak panahmu kepada Abu Thalhah…”, sembari Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengamati pergerakan musuhnya.
“Demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, janganlah engkau menampakkan
dirimu kepada musuh agar engkau tak terkena panah… biarlah dadaku yang
melindungi dadamu…!!” seru Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Shahih Bukhari, hadits no
3811 & 4064; dan Shahih Muslim, hadits no: 1811)
Subhaanallaah, betapa besar kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam hingga nyawa pun menjadi murah demi keselamatan beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam… benar-benar gambaran kecintaan yang sejati.
Dahulu, ada seorang sahabat yang bernama Muhaiyishah bin Mas’ud Al Khazraji
Al Anshari, julukannya Abu Sa’ad. Ia tergolong warga Madinah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutusnya ke daerah Fadak
untuk mengajak penduduknya masuk Islam. Ia termasuk salah seorang sahabat
yang ikut serta dalam perang Uhud, Khandaq dan berbagai peperangan
berikutnya. Ia memiliki saudara kandung yang lebih tua usianya, yaitu
Huwaiyishah bin Mas’ud; akan tetapi Muhaiyishah lebih cerdas dan lebih
afdhal dari saudaranya ini, bahkan ialah yang menjadi sebab keislaman
saudaranya.
Ada sebuah kisah menakjubkan yang terjadi antara Muhaiyishah dan
Huwaiyishah. Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Ishaq dalam Kitab Al
Maghazi dengan sanadnya dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, yang berkenaan
dengan kisah pembunuhan seorang Yahudi keparat yang senantiasa menyakiti
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam melalui syair-syairnya, namanya
Ka’ab Ibnul Asyraf. Si Yahudi ini berusaha memprovokasi orang-orang Arab
untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Usai terbunuhnya
Ka’ab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para
sahabatnya:“Jika kalian berpapasan dengan orang Yahudi siapa pun di sana,
maka bunuh saja!” Maka segeralah Muhaiyishah bin Mas’ud menghabisi Ibnu
Sunainah, salah seorang saudagar Yahudi yang dahulu bergaul erat dan berjual
beli dengannya. Ketika itu, Huwaiyishah bin Mas’ud belum masuk Islam dan ia
lebih tua dari Muhaiyishah. Begitu ia tahu Muhaiyishah membunuh si Yahudi
tadi, Huwaiyishah langsung memukul dan menghardiknya:
“Hai musuh Allah, sampai hati kau membunuhnya?! Padahal demi Allah, sebagian
lemak yang ada di perutmu adalah berasal dari hartanya!”, bentak
Huwaiyishah.
“Demi Allah, aku diperintahkan untuk membunuhnya oleh seseorang yang bila ia
memerintahkanku untuk membunuhmu, niscaya akan kupenggal juga lehermu!”
jawab Muhaiyishah tegas.
Huwaiyishah tertegun sejenak mendengarnya…
“Kalau begitu, agama yang menjadikanmu seperti ini benar-benar luar biasa…”
gumam Huwaiyishah.
Maka Huwaiyishah pun menyatakan keislamannya, dan inilah awal keisalaman
dirinya. Seketika itulah Muhaiyishah mengucapkan syair:
يلوم ابن أمي لو أمرت بقتله لطبقت ذفراه بأبيض قاضب
Ia mencelaku, padahal kalau disuruh membunuhnya,
pastilah kutebaskan pedangku pada tengkuknya.
pastilah kutebaskan pedangku pada tengkuknya.
حسام كلون الملح أخلص صقله متى ما أصوبه فليس بكاذب
Pedang nan putih bak garam yang berkilau
sinarnya,
yang bila kuhunus maka tak akan lagi berdusta.
yang bila kuhunus maka tak akan lagi berdusta.
وما سرني أني قتلتك طائعا وأن لنا ما بين بصرى ومأرب
Aku tak suka bila membunuhmu karena taat kepadanya,
diganti dengan apa yang terdapat antara Ma’rib dan Bushra*
diganti dengan apa yang terdapat antara Ma’rib dan Bushra*
(Lihat Al
Istie’aab fi Ma’rifatil As-Haab, 4/1463-1464, oleh Al Hafizh Ibnu
‘Abdil Bar; Dalailun
Nubuwwah 3/200, oleh Imam Al
Baihaqy; Sirah
Ibnu Hisyam, 3/326; dan yang lainnya.)
(*) Ma’rib adalah nama sebuah kota di Yaman, sedangkan Bushra adalah nama
sebuah daerah di Syam.
Wuiihh… benar-benar sulit dipercaya! Benar-benar kecintaan yang tiada tara…
adakah diantara kita yang sanggup menirunya? Alih-alih ingin seperti mereka,
disuruh ikut sunnahnya saja setengah mati susahnya, apalagi disuruh seperti
mereka? mustahil rasanya…
Sekarang…
Sekarang, cinta
Rasul kebanyakan hanyalah
slogan yang sulit dicari wujudnya di lapangan. Cinta Rasul sering kali
diidentikkan dengan shalawatan, perayaan maulid, isra’ mi’raj, dan yang
sejenisnya.
Sekarang, orang yang dianggap
cinta Rasul ialah mereka yang mengagungkan beliau dengan bertawassul
kepadanya dalam do’a. Atau mereka yang mengirimkan Al Fatehah kepada beliau,
atau mereka yang menggelari beliau dengan gelar yang bermacam-macam: seperti
Sayyidina, Habibina, dan lain-lain.
Sekarang, ‘Cinta Rasul’
merupakan judul kaset yang sering kita dengar dimana-mana… yang dinyanyikan
oleh pria dan wanita, tua dan muda… semua merasa khusyuk ketika melantunkan
kata-kata: Shalaatullaah
salaamullaah… ‘alal habiibi Rasuulillaah…
Akan tetapi jangan tanya soal sunnah beliau kepada mereka… karena mereka
akan menjawab bahwa yang mereka lakukan tadilah yang namanya sunnah. Cinta
Rasul kini telah berubah menjadi klaim yang diperebutkan setiap golongan.
Cinta Rasul yang dahulu diwujudkan dengan ittiba’ kepadanya, kini semakin
luas maknanya hingga mencakup bid’ah segala. Menurut mereka, perayaan
maulid, isra’ mi’raj, shalawatan bid’ah, dan yang sejenisnya merupakan
perwujudan nyata akan kecintaan seseorang kepada Nabinya. Sehingga otomatis
bila ada orang yang mengingkari hal-hal semacam itu, serta-merta dituduhlah
ia sebagai orang yang tidak cinta Rasul, atau wahhabi, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, mereka berusaha mencari ‘pembenaran’ -dan bukannya kebenaran-
atas apa yang selama ini mereka lakukan. Mereka berusaha meyakinkan bahwa
apa yang mereka lakukan selama ini tidaklah bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka mengumpulkan sebanyak mungkin ‘dalil’ (baca:
syubhat) untuk melegitimasi praktik ‘sunnah’ (baca: bid’ah) mereka.
Memang zaman kita ini penuh dengan keanehan… orang yang berusaha
menghidupkan sunnah dan membasmi bid’ah justeru dicap macam-macam; seperti
tidak cinta Rasul…! atau wahhabi…! Namun sebaliknya, mereka yang
melestarikan berbagai bid’ah khurafat dengan kedok ‘Cinta Rasul’ justeru
mengklaim dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini