Bismillaahirrahmaanirrahiim
2. Kesalahan seputar pakaian ihram[1]
A. Menggunakan kain ihram untuk bagian bawah badan yang berbentuk seperti
“rok”
Penulis baru
menyadari fenomena ini tepatnya awal Ramadhan yang lalu (1432 H), ketika
menemani syaikh kami bertugas di As-Sail Al-Kabiir (Qarn Al-Manaazil),
miqatnya penduduk Najd. Pada waktu itu banyak di
antara mu’tamiruun (orang-orang yang menunaikan umrah) menggunakan “rok
ihram” ini. Kebanyakan mereka ragu apakah “rok ihram” ini boleh digunakan
atau tidak. Yang mengatakan boleh, karena banyak dan bebas dijual di
toko-toko di sekitar miqat. Akan tetapi ketika mereka menanyakannya,
sebagian besar masyaikh mengatakan tidak boleh. Bagaimana sebenarnya hukum
menggunakan pakaian semacam ini untuk ihram? Berikut penjelasannya:
Dalil-dalil seputar pakaian ihram
-
Hadits Ibnu ‘Umar
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَجُلًا قَالَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا يَلْبَسُ المُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ؟ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَلْبَسُ القُمُصَ، وَلاَ
العَمَائِمَ، وَلاَ السَّرَاوِيلاتِ، وَلاَ البَرَانِسَ، وَلاَ الخِفَافَ
إِلَّا أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ، فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ،
وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ،
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhumaa dia berkata, “Seseorang
bertanya kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallamtentang pakaian
yang boleh dipakai seorang muhrim[2]. Beliau bersabda, “Janganlah ia memakai
gamis, ‘imamah[3], saraawiilaat[4], baraaniis[5], dan sepatu khuf[6].
Kecuali bagi orang yang tidak memiliki sandal, maka boleh baginya memakai
sepatu khuf, (dengan catatan) hendaknya ia memotong bagian atas sepatu yang
menutup kedua mata kaki.” (HR. Al-Bukhari no.1542, dan Muslim no. 1177)
-
Hadits Ibnu ‘Abbas
عن ابن عباس قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِعَرَفَاتٍ: «مَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ
الخُفَّيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ
لِلْمُحْرِمِ»
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa dia berkata, “Aku mendengar
Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di
‘Arafah,“Barangsiapa yang tidak memiliki sandal, hendaknya dia memakai
sepatu khuf. Dan barangsiapa yang tidak memiliki kain, boleh bagi seorang
muhrim memakai saraawiil. “(HR. Al-Bukhari no. 1841, dan Muslim no. 1179)
[7]
-
Hadits Ibnu ‘Umar
وَلْيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِي إِزَارٍ وَرِدَاء
وَنَعْلَيْنِ
“Dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhumaa dia berkata,
“Rasulullaahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya seseorang
itu berihram dengan memakai izaar[8], ridaa‘[9], dan sandal.” (HR. Ahmad dan
Ibnu Khuzaimah. Syaikh Syu’aib berkata, “Hadits ini shahih.”)[10]
“Rok ihram” termasuk jenis saraawiil
Pakaian ihram
untuk bagian bawah badan yang berbentuk seperti rok itu oleh orang arab
disebut sebagai “nuqbah”. Dalam bahasa ‘ammiyyah sering disebut dengan
“tannuurah”. Disebut demikian karena bentuknya yang mirip tungku peleburan
besi, di mana bagian atasnya sempit sedangkan bagian bawahnya semakin luas.
Di negeri kita pakaian semacam ini disebut dengan “rok”.
Jika kita
merujuk ke kamus-kamus bahasa arab, maka akan kita dapatkan penjelasan para
ulama bahasa bahwa nuqbah itu adalah termasuk ke dalam
jenis saraawiil (celana panjang). Ibnu Manzhur berkata, “Nuqbah adalah
sejenis pakaian yang bagian atasnya seperti celana (karena dibuat melingkar
yang di dalamnya dimasukkan sejenis karet -pen) , sedangkan bagian bawahnya
seperti kain sarung.” Beliau juga menambahkan, “Ada juga yang
mengatakan, “Nuqbah itu adalah saraawiil tanpa belahan untuk kaki” [11]
Dengan
demikian, jelaslah bagi kita bahwa nuqbah atau tannuurah atau “rok ihram”
ini termasuk pakaian yang dilarang untuk dipakai dalam ihram. Hendaknya kita
tidak menggunakannya dalam rangka bersikap hati-hati walaupun banyak orang
yang menjualnya. Kebanyakan mereka (para penjual) ketika ditanya boleh atau
tidaknya rok ihram ini menjawab bahwa ada ulama yang berfatwa boleh
memakainya. Ketika diminta menunjukkan fatwa tersebut, mereka tidak mampu
menunjukkannya. Hatta jikalau memang benar ada ulama yang menfatwakan
bolehnya memakai rok ihram ini, sebaiknya kita lebih bersikap hati-hati
dengan mengambil yang lebih selamat. Wallaahu a’lam.
B. Melakukan idhthiba‘ sejak mulai ihram sampai dengan tahallul
Idhthiba’ berasal dari kata “dhab’un” yang mengikuti pola
“ifti’al”.“Dhab’un” itu sendiri artinya adalah pertengahan lengan atas.
Terkadang pula yang dimaksud adalah ketiak (ibth), karena berdekatan dengan
pertengahan lengan atas. Oleh karena itu, secara bahasa seseorang dikatakan
ber-idhthiba‘ jika dia memasukkan sesuatu di bawah ketiaknya.
“Idhthiba’” di dalam istilah manasik maksudnya adalah mengenakan pakaian
ihram dengan cara memasukkan tengah kain di bawah ketiak sebelah kanan dan
meletakkan kedua ujung kain di atas bahu sebelah kiri. Dengan demikian, bahu
sebelah kanan dibiarkan terbuka.[12]
Sebagian
besar jamaah haji beranggapan bahwa memakai pakaian ihram identik
dengan “idhthibaa’”. Ini salah kaprah yang disebabkan oleh beberapa
kemungkinan:
Kemungkinan
yang pertama: tidak begitu paham tentang manasik. Orang-orang seperti ini
biasanya bermodalkan pengamatan belaka tanpa pengolahan data observasi.
Mereka melihat jamaah haji melakukan suatu perbuatan, lalu serta-merta
mereka pun mengikutinya.
Kemungkinan
yang kedua: terlalu fanatik dengan madzhab tertentu. Mereka tidak mau tau
apakah pendapat madzhab tersebut benar atau salah, sesuai dengan dalil dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah atau tidak. Yang penting bagi mereka adalah apa yang
dikatakan oleh madzhab, itulah yang benar dan wajib diikuti. Inilah yang
disebut dengan taklidbuta. Kewajiban kita adalah ittiba‘ (mengikuti dengan
memahami dalil), bukan taklid buta (mengekor tanpa memahami dalil).
Kapan idhthibaa’ itu disyari’atkan?
Idhthibaa’ disyari’atkan hanya pada saat thawaf qudum saja, yaitu thawaf
ketika tiba di Makkah.
عَنْ
يَعْلَى بن أمية، قَالَ: طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُضْطَبِعًا بِبُرْدٍ أَخْضَرَ
Dari Ya’la
bin Umayyah radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam melakukan thawaf sambil melakukan idhthibaa‘ dengan kain berwarna
hijau.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi
berkata, “Hadits ini shahih.”)[13]
Syaikh
Abdullah Al-Bassam berkata, “Idhthibaa’ itu disunnahkan hanya pada saat
thawaf qudum saja, karena ketiadaan dalil yang menerangkan sunnahnya pada
saat selain thawaf qudum” [14].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَصْحَابَهُ اعْتَمَرُوا مِنَ الْجِعْرَانَةِ فَرَمَلُوا بِالْبَيْتِ
وَجَعَلُوا أَرْدِيَتَهُمْ تَحْتَ آبَاطِهِمْ قَدْ قَذَفُوهَا عَلَى
عَوَاتِقِهِمُ الْيُسْرَى
Dari Ibnu
‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabat menunaikan umrah dari Ji’ranah. Mereka
melakukan “ramal”[15], dan memasukkan pakaian ihram mereka di bawah ketiak
sebelah kanan, sedangkan kedua ujung kain tersebut disematkan di atas bahu
sebelah kiri (idhthibaa‘ -pen). (HR. Abu Dawud, no.1884, Syeikh Abdul Muhsin
Al-’Abbad mengatakan isnad hadits ini hasan.) [16]
Adapun hadits
Ibnu ‘Abbas tersebut di atas yang menunjukkan idhthibaa‘ juga berlaku pada
saat thawaf ‘umrah dapat dijelaskan bahwa thawaf umrah yang dimaksud adalah
berkedudukan sama sebagai thawaf qudum, yaitu thawaf yang dilakukan
sesampainya seorang muhrim di Makkah. Jika ia telah menunaikan umrahnya,
kemudian ingin melaksanakan umrah berikutnya untuk orang lain seperti ibunya
atau ayahnya yang sudah meninggal -misalkan saja-, maka dia tidak perlu
keluar menuju miqat yang lima. Karena saat itu ia berkedudukan sama seperti
penduduk Makkah. Dia cukup keluar dari daerah haram menuju daerah halal
(seperti Tan’im dan Ji’ranah) sebagai miqatnya. Untuk umrah yang kedua ini,
thawaf umrahnya tidak dikatakan lagi sebagai thawaf qudum, karena statusnya
masih berada di Makkah. Sehingga dengan demikian, pada thawaf umrah yang
kedua ini tidak disunnahkan melakukan idhthibaa‘. Wallaahu a’lam.
Idhthibaa’ merupakan kekhususan thawaf
Syaikh
Manshur Al-Buhuti berkata, “Apabila telah selesai dari thawaf, maka
hendaknya ia kembali mengenakan pakaian ihramnya seperti biasa (maksudnya
tidak beridhthibaa’ lagi -pen).”[17]
Syaikh
Al-Hajjaawiy berkata, “Dan tidak melakukan idhthibaa’ pada saat
sa’i.” Syaikh Al-Buhuti menjelaskan, “(Yang demikian itu) dikarenakan tidak
ada dalilnya. Al-Imam Ahmad mengatakan, “Kami tidak pernah mendengarkan
hadits yang membicarakan hal itu (tentang idhthibaa’ pada saat
sa’i -pen).”[18]
Syubuhat dan Bantahannya
Syubhat 1
Ada yang
mengatakan, “Madzhab kami berpendapat bahwa idhthibaa’ itu disunnahkan pada
saat thawaf dan sa’i. Kami mengikuti madzhab kami, sebagaimana kalian
mengikuti madzhab kalian.”
Bantahannya:
Kita katakan bahwa yang diikuti dalam hal ini adalah kebenaran. Kebenaran
itu sumbernya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bermadzhab merupakan salah satu
sarana dalam memahami fiqh atau syari’at. Bermadzhab bukanlah tujuan dalam
beragama. Kita tidak dilarang bermadzhab sebagaimana para ulama dan para
imam terdahulu bermadzhab. Yang dilarang adalah fanatik terhadap madzhab
tertentu dengan menganggap bahwa madzhabnya adalah ma’shum dari kesalahan
dan kekeliruan. Kita tidak mengingkari adanya perbedaan pendapat di kalangan
madzhab. Yang dituntut dari kita adalah mengambil pendapat yang paling dekat
dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk
permasalahan idhthibaa’ para ulama berbeda pendapat.
-
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa idhthibaa‘ itu disunnahkan pada saat
thawaf, sedangkan pada saat sa’i tidak disunnahkan. Tidak semua thawaf
disunnahkan idhthibaa‘, hanya untuk thawaf yang diikuti dengan sa’i
saja.[19]
-
Madzhab Maliki berpendapat bahwa idhthibaa‘ itu tidak dianjurkan baik
pada saat thawaf maupun sa’i.[20]
-
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa idhthibaa‘ itu disunnahkan baik pada
thawaf maupun sa’i.[21]
-
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa idhthibaa‘ itu disunnahkan hanya pada
saat thawaf, sedangkan pada saat sa’i tidak. Idhthibaa‘ hanya
disunnahkan pada saat thawaf qudum saja, baik setelahnya diikuti dengan
sa’i ataupun tidak.[22]
Dari
keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa jumhur ulama berpendapat
bahwa idhthibaa‘ tidak disyari’atkan pada saat sa’i. Hanya madzhab Syafi’i
saja yang berpendapat sunnah.
Al-’Aini
berkata, “Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat sunnahnya idhthibaa’ pada saat
sa’i mengqiyaskan hukumnya dengan thawaf.”[23]
Ibnu Qudamah
menjelaskan, “Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat sunnahnya idhthibaa’ pada saat
sa’i. Beliau beralasan karena sa’i merupakan salah satu bentuk thawaf. Sa’i
mirip seperti thawaf mengelilingi ka’bah. Yang benar adalah Nabi tidak
melakukan idhthibaa’ pada saat sa’i. Sunnahnya adalah mencontoh
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Al-Imam Ahmad berkata, “Kami tidak
pernah mendengar sebuah hadits pun tentang hal itu (idhthibaa’pada saat sa’i
-pen). Qiyas tidak dibenarkan kecuali dalam hal yang dapat dipahami
maknanya. Dan ini merupakan ibadah murni (yang tidak boleh dikerjakan
kecuali dengan dalil yang shahih dan sharih -pen).[24]
Penulis
mengatakan bahwa hukum asal memakai ridaa‘ adalah meletakkannya di atas
kedua bahu. Ketika di sana terdapat perintah baik itu perkataan maupun
perbuatan dari Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memalingkan
dari hukum asal ini, maka penerapannya hanya pada hal, tempat dan waktu yang
ditunjukkan oleh perintah tersebut. Jika tidak ada perintahnya pada hal,
tempat dan waktu yang berbeda, maka penerapannya dikembalikan kepada hukum
asal.
Untuk
kasus idhthibaa‘, ini merupakan perbuatan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya.
Dalil-dalil yang ada hanya menunjukkan idhthibaa’ itu hanya pada waktu
thawaf qudum saja. Dikarenakan tidak adanya dalil yang
memerintahkan idhthibaa’ pada waktu sa’i, maka cara memakai ridaa’ kembali
kepada asalnya, yaitu diletakkan di atas kedua bahu.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pendapat Al-Imam Ahmad dalam masalah ini
lebih kuat dibandingkan dengan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Wallaahu a’lam.
Wa
shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.
Riyadh, 16
Dzulqa’dah 1432
Catatan Kaki:
-
[1] Pembahasan kali ini
khusus untuk pakaian ihram bagi laki-laki. Insya Allah,
kesalahan-kesalahan manasik khusus wanita akan disusun tersendiri di
lain waktu. Semoga Allah memudahkannya.
-
[2] Muhrim adalah orang
yang melakukan ihram. Ini yang benar. Bukan seperti yang dimaksud oleh
kebanyakan orang di negeri kita bahwa muhrim adalah orang yang haram
untuk dinikahi. Ini juga termasuk “salah sebut”. Istilah yang benar
untuk orang-orang yang haram dinikahi adalah “mahram”. Hendaknya kita
bisa membedakan kedua istilah ini dan menempatkan pada tempatnya.
-
[3] “’Imamah” adalah
pakaian khusus kepala. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan sorban.
Termasuk ke dalam hukum ‘imamah adalahsyimagh dan ghuthrah (tutup kepala
model orang saudi), kopiah, peci, dan yang sejenisnya.
-
[4] “Saraawiilaat” bentuk
jamak dari saraawiil, yaitu pakaian untuk bawah badan. Biasa disebut
dengan celana panjang.
-
[5] “Baraanis” bentuk
jamak dari burnus, yaitu baju yang memiliki penutup/tudung kepala.
-
[6] “Khuf” adalah sepatu
yang menutup mata kaki, biasanya terbuat dari kulit.
-
[7] Hadits ini
merupakan naasikh terhadap hadits sebelumnya. Maksudnya hadits Ibnu
‘Abbas menghapus hukum yang terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar. Jika kita
melihat sekilas, hadits Ibnu ‘Abbas lebih umum daripada hadits Ibnu
‘Umar. Dalam hadits Ibnu ‘Umar terdapat penjelasan tentang memotong
bagian atas khuf yang menutupi mata kaki, sedangkan dalam hadits Ibnu
‘Abbas tidak disebutkan keterangan tersebut. Para ulama menjelaskan
bahwa ini masuk ke dalam babnaasikh dan mansuukh, bukan bab umum dan
khusus yang dengannya menjadikan hadits yang umum dibawa penerapannya
kepada hadits yang khusus. Alasannya, karena hadits Ibnu ‘Umar itu
ketika Nabi berada di Madinah, sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas ketika Nabi
berkhutbah di ‘Arafah. Kaum muslimin pada saat di Arafah lebih banyak
daripada yang hanya di Madinah. Yang berada di ‘Arafah sebagian besar
mereka tidak mendengar jawaban beliau ketika di Madinah. Ketika ditanya
di ‘Arafah, Nabi tidak memerintahkan untuk memotong bagian atas khuf.
Kalau seandainya memotong khuf tersebut adalah wajib hukumnya, pasti
Nabi sudah menjelaskannya, karena mengakhirkan penjelasan pada waktu
dibutuhkan tidak dibenarkan dalam syari’at. Dengan kata lain, tidak
diperintahkannya sesuatu pada waktu penjelasan itu dibutuhkan,
menunjukkan ketidakwajibannya. (At-Tahqiiq wa Al-Iidhaah, hal. 74,
Maktabah Ibnu Baaz, tahqiq: DR. Shaalih Al-’Ushaimi)
-
[8] “Izaar” adalah kain
untuk menutupi bagian bawah badan.
-
[9] “Ridaa‘” adalah kain
yang menutupi bagian atas badan, biasanya diletakkan di atas kedua bahu
(untuk menutupi bahu).
-
[10] At-Tahqiiq wa
Al-Iidhaah, hal. 41, Maktabah Ibnu Baaz, tahqiq: DR. Shaalih
Al-’Ushaimi.
-
[11] Lisaan Al-’Arab,
1/768, Daar Shaadir, Beirut.
-
[12] Lisaan Al-’Arab,
8/216, Daar Shaadir, Beirut.
-
[13] Taudhiih Al-Ahkaam,
no. 630, 4/114, Maktabah Al-Mushthafa.
-
[14] Ibid, hal. 115.
-
[15] “Ramal” adalah
berjalan cepat dengan langkah-langkah yang pendek.
-
[16] Tabshiiru An-Naasik
bi Ahkaami Al-Manaasik, Syeikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, hal.102-103
-
[17] Ar-Raudh Al-Murbi’,
hal. 175, Daar Al-Kitaab Al-’Arabiy, Beirut.
-
[18] Kasyfu Al-Qinaa’,
hal. 1158, Daar ‘Aalam Al-Kutub, Riyadh.
-
[19] Haasyiyah Ibn
‘Aabidiin, 2/481, Daar Al-Fikr, Beirut.
-
[20] Fath Al-Baari, no.
1605, 3/534, Daar Al-Hadiits, Kairo.
-
[21] Al-Majmuu’ Syarhu
Al-Muhadzdzab, 8/27, Maktabah Al-Irsyaad, Jeddah.
-
[22] Al-Mughni, 3/339,
Maktabah Al-Qaahirah, Kairo.
-
[23] Al-Binaayah Syarhu
Al-Hidaayah, 4/195, Daar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut.
-
[24] Al-Mughni, 3/340,
Maktabah Al-Qaahirah, Kairo.
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini