Artinya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sedang duduk bermajelis di Masjid bersama para sahabat datanglah tiga orang. Yang dua orang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang seorang lagi pergi, yang dua orang terus duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dimana satu diantaranya nampak berbahagia bermajelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (di depan), sedang yang kedua duduk di belakang mereka, sedang yang ketiga berbalik pergi, Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai bermajelis, Beliau bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang ketiga orang tadi?”Adapun salah seorang diantara mereka, dia meminta perlindungan kepada Allah, maka Allah lindungi dia. Yang kedua, dia malu kepada Allah, maka Allah pun malu kepadanya. Sedangkan yang ketiga berpaling dari Allah maka Allah pun berpaling darinya.”(HR. Bukhari (66) Muslim (2176))
Pengertian Shalat Tahiyatul Masjid
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tahiyyatul Masjid adalah shalat yang dilakukan sebanyak dua Roka’at, dan dikerjakan oleh seseorang ketika masuk ke masjid. Adapun hukumnya termasuk sunnah berdasarkan konsensus karena hal itu merupakan hak setiap orang yang akan masuk ke masjid, sebagaimana dalil-dalil yang telah disebutkan.” (Fathul Bari: 2/407)
Siapa Yang Dikecualikan Untuk Tidak Mengerjakan Shalat Tahiyatul Masjid?
Ibnu Hajar juga berkata, “Dikecualikan bagi khotib masjid, yang akan masuk ke masjid untuk shalat, dan berkhutbah di hari jum’at, maka seorang khotib tidak perlu melakukan shalat Tahiyatul Masjid. Dikecualikan juga bagi pengurus masjid, karena ia diberi amanah untuk senantiasa keluar masuk masjid, jika setiap keluar masuk di perintahkan untuk shalat tahiyatul masjid, tentu hal itu akan memberatkan baginya. Sebagaimana pula tidak disunnahkan bagi seseorang yang masuk ke masjid sedangkan imam telah menegakkan shalat fardhu atau telah selesai dikumandangkan iqamat, karena sesungguhnya shalat fardhu telah cukup walaupun tidak shalat tahiyatul Masjid.” (Subulus Salam: 1′/320)
Namun sebagian Ulama’ berpendapat disunnahkan melakukan tahiyatul Masjid setiap kali masuk ke Masjid. Hal ini sebagaimana pendapat imam Nawawi, dan ini pendapat yang dipilih oleh ibnu Taimiyyah, dan Ahmad bin Hambal. (Al-Majmu’: 4/75)
Imam Syaukani rahimahullah berpendapat, “Bahwa shalat Tahiyatul Masjid disyari’atkan, meskipun berkali-kali masuk ke masjid, sebagaimana secara ekplisit dinyatakan dalam hadits. (Nailul Authar: 3/70)
Tahiyatul masjid tergolong sebagai penghormatan terhadap masjid. Hal itu sepadan dengan ungkapan salam ketika masuk ke suatu tempat, sebagaimana seorang yang memberi salam kepada sahabatnya ketika bertemu.
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sebagian yang lain mengilustrasikan dengan memberi salam kepada pemilik masjid (Allah subhanahu wata’ala). Karena maksud dilakukannya tahiyatul masjid adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan kepada masjid, sebab seseorang yang masuk ke rumah orang lain, yang diberi salam adalah pemiliknya bukan rumahnya. (Hasyiyah Ibnul Qasim: 2/252)
Beberapa Masalah/Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat Tahiyatul Masjid
Disyari’atkannya untuk shalat Tahiyatul Masjid di setiap waktu (tidak ada waktu yang terlarang), karena ia termasuk shalat yang berkaitan dengan sebab (yaitu karena masuk ke masjid). Inilah pendapat yang dipilih oleh Syeikhul islam ibnu Thaimiyyah, majduddin Abul Barakat, Ibnul Jauzi, dan yang lain. (Al-inshof : 2/802, Al-Muharrar : 1/86, Nailul Authar : 3/62, Fatawa li ibni Thaimiyyah : 23/219)
Pendapat ini juga dipilih oleh Syeikh Muhammad bin Utsaimin (Syarah Mumthi’ ” (4/179)) dan juga Syeikh Ibnu Baz dalam kitab fatawa.
Masalahan Kedua:
Waktu/pelaksanaan shalat Tahiyatul Masjid adalah ketika masuk ke masjid dan sebelum duduk. Adapun jika ia sengaja duduk, maka tidak di syari’atkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid. Hal itu dikarenakan telah kehilangan kesempatan (yaitu ketika masuk masjid dan sebelum duduk). (Ahkam Tahiyatul Masjid, 5)
Masalah Ketiga:
Adapun jikalau ia masuk masjid dan langsung duduk karena tidak tahu atau lupa dan belum mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, maka ia tetap disyari’atkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid, karena orang yang diberi uzur (karena lupa atau tidak tahu) tidak hilang kesempatan untuk megerjakan shalat tahiyatul masjid, dengan syarat jarak antara duduk dengan waktunya tidak terlalu lama. (Fathul Bari, 2/408)
Masalah Keempat:
Apabila ada orang yang masuk ke Masjid sedangkan azan dikumandangkan, maka yang sesuai syari’at adalah menjawab adzan dan menunda sebentar untuk shalat Tahiyatul Masjid, karena saat itu menjawab adzan lebih penting. Kecuali kalau ia masuk ke masjid pada hari jum’at, sedangkan adzan untuk khutbah tengah dikumandangkan, maka dalam kondisi seperti ini mendahulukan shalat tahiyatul masjid daripada menjawab azan (agar bisa mendengarkan khutbah). Karena mendengarkan khutbah lebih penting.” (Al-Inshaf, 1/427)
Masalah Kelima:
Apabila ada orang yang masuk ke masjid sedangkan imam saat itu sedang berkhutbah, maka tetap disunnahkan untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, dan hendaknya meringankannya/mempercepatnya (Al-Fatawa li Ibni Taimiyyah, 23/219). Hal ini sebagaimana dalam hadits Nabi, “Maka janganlah ia duduk kecuali telah mengerjakan dua raka’at” (HR Bukhari (1163) dan Muslim (714)). Begitu pula dalam hadits yang lain,´“Hendaklah ia kerjakan dua raka’at, dan hendaklah meringankanya.” (HR Bukhari (931), Muslim (875)). Jika seorang khatib hampir selesai khutbah, dan menurut dugaan kuat jika ia mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid akan ketinggalan shalat wajib (shalat jum’at), maka hendaknya ia berdiri untuk mengerjakan shalat jum’at, dan setelah selesai shalat Jumat hendaknya ia jangan sampai langsung duduk tanpa mengerjakan shalat tahiyatul masjid.
Masalah Keenam:
Penghormatan di Masjidil Haram adalah Thawaf, hal ini sebagaimana dikemukakan Jumhur Fuqaha’. Imam Nawawi berkata, “Shalat Tahiyyatul Masjidil untuk Masjidil Haram adalah Thawaf, yang dikhususkan bagi pendatang. Adapun orang yang Muqim/menetap disitu maka hukumnya sama seperti masjid-masjid yang lain (yaitu disunnahkan shalat Tahiyatul Masjid)” (Fathul Bari: 2/412)
Namun sebagai catatan, hadits yang dijadikan rujukan dalam masalah ini adalah hadits yang tidak shahih/benar. Bahkan tidak ada asalnya dari Nabi. Lafaz hadits tersebut adalah:
تحية البيت الطواف
“Tahiyat bagi Al-Bait (Ka’bah) adalah thawaf,” (Lihat Adh-Dhaifah no. 1012 karya Al-Albani -rahimahullah-),
Jadi kesimpulannya shalat Tahiyatul Masjid berlaku untuk semua masjid, termasuk masjidil haram. Sehingga orang yang masuk masjidil haram tetap dianjurkan baginya untuk melakukan tahiyatul masjid jika dia ingin duduk.
Masalah Ketujuh:
Shalat qabliyah dapat menggantikan tahiyatul masjid, karena maksud dari shalat tahiyatul masjid adalah agar orang yang masuk masjid memulai dengan shalat, sedangkan ia telah melaksanakan shalat sunnah rawatib. Jika ia berniat shalat sunnah rawatib sekaligus shalat tahiyatul masjid atau berniat shalat fardhu maka ia telah mendapat pahala secara bersamaan. (Kasyful Qana’: 1/423)
Masalah Kedelapan:
Adapun seorang imam, maka cukup baginya untuk mendirikan shalat fardhu tanpa shalat Tahiyatul Masjid. Hal itu dikarenakan imam datang di akhir dan kedatangannya dijadikan sebagai tanda untuk mengumandangkan iqamat. (Subulus Salam: 1329)
Adapun jikalau imam telah datang sejak awal waktu, maka tetap disyari’atkan bagi imam untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, sebagaimana makmum. Hal itu sebagaimana keumuman dalil, “Jika salah seorang dari kalian masuk ke Masjid, maka janganlah duduk sehingga ia shalat dua raka’at terlebih dahulu.” (HR Bukhari (444), Muslim (764))
Mengenai shalat di tanah lapang (seperti shalat ied, istisqa’), maka tidak disyari’atkan untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, (Al-Fawakihul Adidah : 1/99)
Namun sebagian ulama’ ada yang membolehkan shalat tahiyatul Masjid di tanah lapang karena di tinjau dari segi hukumnya sama seperti shalat berjama’ah di dalam masjid. (Al-inshaf: 1/246). Namun yang lebih rajih insya Allah pendapat yang pertama, karena berbeda dari sisi tempatnya dan juga dzahirnya hadits : “Jika salah seorang dari kalian masuk ke Masjid…. (HR Bukhari dan Muslim)
Masalah Kesembilan:
Tidak dipungkiri bahwa shalat tahiyatul masjid berlaku utk siapa saja, laki-laki & perempuan yang hendak melakukan shalat berjama’ah di masjid. Hanya saja para ulama mengecualikan darinya khatib Jum’at, dimana tak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Nabi –shallallahu Alaihi wassalam- shalat tahiyatul masjid sebelum beliau khutbah. Akan tetapi beliau datang & langsung naik ke mimbar (Al-Majmu’: 4/448).
Hikmah dari Shalat Tahiyatul Masjid
Hikmah dari mengerjakan Shalat Tahiyatul Masjid adalah sebagai penghormatan terhadap Masjid, sebagaimana seseorang masuk ke rumahnya dengan mengawali ucapan salam, dan juga sebagaimana seseorang yang mengucapkan salam kepada sahabatnya disaat keduanya bertemu.
Semoga Allah memberi pertolongan kepada kita agar kita senantiasa dimudahkan dalam memahami agama Islam yang benar, dan dimudahkan dalam mengamalkannya dan mendakwahkannya.
والصلاة والسلام على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين
Referensi:
- Ahkam Tahiyyatul Masjid, karya Muhammad bin Shalih Al-Khuzaim
- Ahkam Tahiyatul Masjid fil Fiqh Islami, karya Adil Mubarok Al-Muthirat
Penulis : Lilik Ibadurrohman
Morajaah: Ust. Muhsan Syarafudin, Lc, M.H.I
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini