Home »
Fiqih dan Muamalah
» Bersalaman (Berjabat Tangan) Setelah Shalat Wajib
Bersalaman (Berjabat Tangan) Setelah Shalat Wajib
Written By Rachmat.M.Flimban on Senin, 18 November 2013 | Senin, November 18, 2013
Bersalaman (Berjabat Tangan) Setelah
Shalat Wajib
Assalamu'alaikum, Ustadz Farid
Nu’man yang di rakhmati Alloh.Ana mau menanyakan perihal hukum berjabat tangan
seusai shalat berjamaah bagaimana hukumnya ustadz? Mengingat dikalangan
masyarakat muslim Indonesia, aktivitas bersalaman setelah Sholat sangat banyak
ditemui. Jazakallah sebelumnya (@ ami)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmtullah wa
Barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash
Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa man waalah,
wa ba’du.
Pada dasarnya bersalaman setelah
shalat wajib tidak disyariatkan (ghairu masyru’); tidak akan kita temukan
tentang hal itu dalam Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’, baik dalam
bentuk kata perintah wajib atau mustahab (sunah). Sedangkan, wajib
dan sunah adalah perkara yang mesti berasal dari pembuat syariat bukan hawa
nafsu manusia yang menyangka baik sebuah perbuatan.
Di sisi lain, bersalaman adalah
perbuatan yang secara mutlak (umum) memang dianjurkan dilakukan
sesama muslim, dengan tanpa terikat oleh waktu, tempat, dan peristiwa tertentu.
Kita dapat melakukannya ketika pagi, siang, sore, dan malam, ketika berdiri,
duduk, dan berbaring, ketika diam atau berjalan, mukim atau musafir, bertemu
dan berpisah, di majelis dan di luar
majelis, atau kapan pun, termasuk juga setelah shalat, sebab hal itu termasuk
lingkup kemutlakannya.
Namun, masalah mulai timbul ketika
bersalaman setelah shalat telah
menjelma menjadi adat dan tradisi baru
secara khusus, yang jika ditinggalkan oleh pelakunya, mereka merasa ada sesuatu
yang hilang, atau tidak nyaman, dan mereka baru tentram dihati ketika
bersalaman itu mereka lakukan kembali. Seakan bersalaman adalah ibadah
yang terkait dengan shalat itu sendiri.
Ini benar-benar telah terjadi di
sebagian fenomena masyarakat Islam. Manakala ada manusia yang tidak mengikuti
tradisi ini serta merta orang tersebut dituduh dengan berbagai tuduhan yang
jelek. Pada titik ini, bersalaman setelah shalat telah menjadi wujud baru dalam
ritual Islam yang tidak ada dasarnya. Oleh karena itu, masalah ini sangat
bersifat kasuistis dan kondisional, tidak dibenarkan secara mutlak dan tidak
disalahkan secara mutlak pula. Sebab, memang ada orang yang bersalaman setelah
shalat telah menjadi tradisi baginya, setelah dia mengucapkan salam langsung
sibuk memutar badan kanan kiri dan belakang untuk bersalaman, dan itu dilakukan
lagi pada kesempatan shalat
lainnya, sehingga ada jamaah merasa terganggu. Ada pula yang
bersalaman karena memang dia baru berjumpa dengan sahabat di kanan kirinya, yang
baru ada kesempatan bersalaman setelah shalat. Ada juga yang bersalaman setelah
shalat karena dia diajak untuk bersalaman, dia bukan inisiatornya, dan itu pun
bukan kebiasaannya, yang jika dia tolak akan melukai hati saudaranya. Nah,
semua ini tentu tidak bisa dinilai secara sama.
Dalil-Dalil Umum Bersalaman
Dari Bara bin ‘Azib Radhialllahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مامن مسلمين
يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا
“Tidaklah dua orang muslim bertemu
lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum
mereka berpisah.” (HR. Abu Daud No. 5212, At Tirmidzi No. 2727, Ibnu Majah
No. 3703, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya, Al
Misykah Al Mashabih No. 4679, Shahihul Jami’ No. 5777, dan
lainnya)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu
‘Anhu, katanya:
قلنا: يا رسول
الله! أينحني بعضنا لبعض؟ قال {لا}. قلنا: أيعانق بعضنا بعضا؟ قال {لا. ولكن
تصافحوا {
Kami bertanya: “Ya Rasulullah!
Apakah kami mesti membungkuk satu sama lain?” Beliau menjawab; “Tidak.” Kami
bertanya: “Apakah saling berpelukan?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi hendaknya
saling bersalaman.” (HR. Ibnu Majah No. 3702, Abu Ya’ala No. 4287. Hadits ini dihasankan Syakh Al Albani dalam Shahih
wa Dhaif Sunan Ibni MajahNo. 3702)
Dari Anas pula:
كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم
إذا تلاقوا تصافحوا ، وإذا قدموا من سفر تعانقوا
“Adalah sahabat
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa mereka saling
bersalaman, jika mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.” (HR.
Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 97. Dihasankan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2719. Imam Al Haitsami
mengatakan: rijalnya (para perawinya) rijal hadits shahih. Lihat Majma’
Az Zawaid, 8/36)
Dari Ka’ab bin Malik Radhiallahu
‘Anhu, katanya:
دخلت المسجد، فإذا برسول الله صلى
الله عليه وسلم، فقام إلي طلحة بن عبيد الله يهرول حتى صافحني وهنأني.
Saya masuk ke masjid, ketika
bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datanglah
menghampiri saya Thalhah bin ‘Ubaidillah tergesa-gesa sampai dia menjabat
tangan saya dan mengucapkan selamat kepada saya. (HR. Bukhari No. 4156,
Abu Daud No. 2773, Ahmad No. 15789).
Berkata Qatadah Radhiallahu
‘Anhu:
قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب
النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم.
Aku berkata kepada Anas: apakah
bersalaman di lakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dia
menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari No. 5908)
Dan masih banyak lainnya.
Berbagai riwayat dan atsar di atas
menunjukkan masyru’-nya bersalaman bagi sesama muslim yakni pria dengan pria, atau wanita dengan wanita.
Dan, hal ini mutlak kapan saja. Para ulama yang menyunnahkan dan membolehkan
berjabat tangan setelah shalat berdalil dengan riwayat-riwayat ini, bagi mereka
berbagai riwayat ini tidak membatasi hanya saat pertemuan. Sedangkan,
dalil ‘aam (umum) dan muthlaq (tidak terikat) adalah
menjadi dalil kuat yang mesti dipakai selama belum ada
dalil khash (spesifik) dan muqayyad (mengikat) yang
mengalihkan kemutlakannya. Nah, dalam bersalaman ini dalil-dalil bersifat ‘aam di
atas tetaplah dapat dijadikan dalil untuk bersalaman kapan saja, karena memang
tidak ada dalil khusus yang mengalihkannya.
Sedangkan bagi pihak yang
memakruhkan bahkan membid’ahkannya, mereka menilai bahwa yang terjadi
adalah bersalaman setelah shalat menjadi kebiasaan tersendiri di masyarakat
yang mereka sandarkan kepada agama dan ibadah, dan fakta inilah yang
sesungguhnya terjadi, oleh karena itu dibutuhkan dalil secara khusus
untuk mengukuhkannya, jika tidak ada, maka itu tertolak (baca: bid’ah).
Seperti yang telah kami sampaikan
sebelumnya, masalah ini tidak bisa digebyah uyah begitu saja karena sifatnya
yang sangat personal dan kasuistis. Oleh karena itu, mesti dilihat menurut
rincian sebagai berikut:
·
Jika
melakukannya karena si pelaku menganggap
bersalaman adalah bagian dari shalat,
maka tidak syak lagi, ini adalah bid’ah dhalalah, karena dia telah
memasukkan dalam ritual peribadatan yang bukan bagian darinya, walau pun ini
hanya dilakukan sekali.
·
Jika
melakukannya tidak dianggap bagian dari shalat, tapi dilakukan berulang-ulang
dan menjadi adat tersendiri sehingga dipandang memiliki keutamaan tersendiri
pula, yang jika ditinggalkan mereka merasa bersalah, maka ini pun bisa
berpotensi menjadi bid’ah dalam ibadah. Sebaiknya ditinggalkan, sebab jika
amaliah yang benar-benar sunah saja nabi tidak terus menerus melakukan karena
khawatir dianggap wajib, apalagi perbuatan yang masih debatable para
ulama. Sungguh, keluar dari khilafiah adalah lebih baik.
·
Jika
melakukannya dalam kondisi dia baru
berjumpa dengan saudaranya, maka itu tidak mengapa, bahkan bagus walau pun
berasal dari inisiatifnya sendiri, dan termasuk aplikasi hadits Bara bin
‘Azib: Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman
melainkan Allah ampuni mereka berdua selama sebelum berpisah
·
Jika
melakukannya bukan inisiatifnya, tetapi dia dalam keadaan berjamaah shalat
bersama kaum yang biasa melakukannya dan mereka mengajaknya bersalaman, lalu
dia sulit menghindar dan dapat melukai perasaan saudaranya itu jika dia menghindar,
maka tidak mengapa dia bersalaman. Hal ini, demi menjaga perasaan sesama
muslim, menyatukan hati, dan menghindari kebencian satu sama lain. Dengan
demikian dia menjalankan mudharat demi menghindari mudharat yang lebih besar
dan berkepanjangan. Sikap ini merupakan ‘ibrah dari sikap
elegan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu yang membid’ahkan
qunut subuh tetapi beliau tetap ikut berqunut jika imam melakukannya, demi
menjaga kesatuan hati, kesamaan kata,
dan menghilangkan permusuhan.
Fa’tabiruu ..!
Dan, rincian inilah yang menjadi
pegangan kami dalam memandang permasalah ini. Wallahu A’lam
Pandangan Para Ulama
Berikut ini adalah pandangan para
imam ahlus sunnah yang patut kita jadikan bahan pemikiran. Semua kami paparkan
sebagai amanah dan kejujuran ilmiah, bahwa memang perselisihan para ulama dalam
hal ini memang wujud (ada). Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap
pandangan salah satu dari mereka, yang jelas, pandangan mereka tidak lepas dari
menyunnahkan, membolehkan dan memakruhkan bahkan membid’ahkan, dengan alasan
masing-masing yang telah kami sebutkan di atas.
Kami akan membagi dua kelompok,
yakni ulama yang menyetujui (baik mengataan sunah atau mubah) dan ulama yang
menolak (baik yang memakruhkan atau membid’ahkan).
Para Ulama Yang Menyetujui
Mereka adalah sederatan imam kaum
muslimin yang nama besar mereka menjadi jaminan kualitas pandangan dan
keilmuannya.
1.
Imam
Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau mengatakan dalam
kitabnya Al Hawi Al Kabir:
إِذَا فَرَغَ
الْإِمَامُ مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنْ كَانَ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ رِجَالًا لَا
امْرَأَةَ المصافحة بعد الصلاة فِيهِمْ وَثَبَ سَاعَةَ يُسَلِّمُ لِيَعْلَمَ
النَّاسُ فَرَاغَهُ مِنَ الصَّلَاةِ
“Jika seorang imam sudah selesai
dari shalatnya, dan jika yang shalat di
belakangnya adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman setelah
shalat bersama mereka, dan setelah
sempurna waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam agar
manusia tahu bahwa dia telah selesai dari shalat.” (Al Hawi Al Kabir,
2/343. Darul Fikr. Beirut - Libanon)
2.
Imam
‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalam Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 660H)
Beliau memasukkan bersalaman
setelah shalat subuh dan ‘ashar sebagai bid’ah yang boleh (bid’ah
mubahah). Berikut perkataannya:
والبدع المباحة
أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل
والمشارب والملابس والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.
“Bid’ah-bid’ah mubahah (bid’ah
yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah subuh dan ‘ashar, di
antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat berupa
makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.” (Qawaid Al
Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173)
3.
Imam
An Nawawi Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 676H)
Beliau juga berpendapat mirip dengan
Imam Ibnu Abdissalam di atas. Namun, beliau menambahkan dengan beberapa
rincian. Berikut perkataannya:
وَأَمَّا هَذِهِ
الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ
ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ
السَّلَامِ رحمه الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا
تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ،
وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ
فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا
فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ
بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ
“Ada pun bersalaman ini, yang
dibiasakan setelah dua shalat; subuh dan ‘ashar, maka Asy Syaikh Al Imam Abu
Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah telah menyebutkan bahwa itu termasuk
bid’ah yang boleh yang tidak disifatkan sebagai perbuatan yang dibenci dan
tidak pula dianjurkan, dan ini merupakan perkataannya yang bagus. Dan,
pandangan yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah
shalat) dengan orang yang bersamanya sejak sebelum shalat maka itu boleh
sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan orang yang
sebelumnya belum bersamanya maka itu sunah, karena bersalaman ketika berjumpa
adalah sunah menurut ijma’, sesuai
hadits-hadits shahih tentang itu.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/325.
1423H-2003M. Dar ‘Aalim Al Kitab)
Dalam kitabnya yang lain beliau
mengatakan;
واعلم أن هذه
المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح
والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة
سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا فيها في كثير من الأحوال أو
أكثرها، لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها.
“Ketahuilah, bersalaman merupakan
perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat
ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada
dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena pada dasarnya
bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada
sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain
atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada
dalam syara’.” (Al Adzkar, Hal. 184. Mawqi’ Ruh Al Islam) Lihat juga dalam kitabnya yang lain. (Raudhatuth
Thalibin, 7/438. Dar Al Maktabah Al ‘ilmiyah)
4.
Imam
Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i (w. 974H)
Beliau memfatwakan tentang sunahnya
bersalaman setelah shalat walau pun shalat id. (Al Fatawa Al Kubra Al
Fiqhiyah ‘Ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i, 4/224-225. Cet. 1.
1417H-1997M. Darul Kutub Al ‘Ilmiah, Beirut - Libanon)
Dalam kitabnya yang lain beliau
berkata:
وَلَا أَصْلَ لِلْمُصَافَحَةِ بَعْدَ
صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا فَإِنَّهَا مِنْ
جُمْلَةِ الْمُصَافَحَةِ ، وَقَدْ حَثَّ الشَّارِعُ عَلَيْهَا
“Tidak ada dasarnya bersalaman
setelah shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu tidak mengapa, karena itu termasuk
makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari’ (pembuat
syariat) telah menganjurkan atas hal itu.” (Tuhfatul Muhtaj, 39/448-449. Syamilah)
5.
Imam
Al Muhib Ath Thabari Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau termasuk ulama yang
menyunnahkan bersalaman setelah shalat, dalilnya adalah hadits shahih riwayat
Imam Bukhari berikut:
Dari Abu Juhaifah Radhiallahu
‘Anhu, katanya:
خَرَجَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ
فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ
وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ
أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ
كَانَ يَمُرُّ
مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ
فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى
وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنْ الْمِسْكِ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam keluar pada saat siang yang panas menuju Al Bath-ha’, beliau
berwudhu kemudian shalat zhuhur dua rakaat, dan ‘ashar dua rakaat, dan
ditangannya terdapat sebuah tombak.” Syu’bah mengatakan, dan ‘Aun menambahkan di
dalamnya, dari ayahnya, dari Abu Juhaifah, dia berkata: “Dibelakangnya lewat
seorang wanita, lalu manusia bangun, mereka merebut tangan nabi, lalu mereka
mengusap wajah mereka dengan tangan beliau. Abu Juhaifah berkata: aku pegang
tangannya lalu aku letakan tangannya pada wajahku, aku rasakah tangannya lebih
sejuk dari salju, lebih wangi dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari No. 3360,
Ad Darimi No. 1367, Ahmad No. 17476)
Al Muhib Ath
Thabari Rahimahullah mengomentari hadits ini;
ويستأنس بذلك لما تطابق عليه الناس من المصافحة بعد الصلوات في
الجماعات لا سيما في العصر والمغرب إذا اقترن به قصد صالح من تبرك أو تودد أو نحوه
“Demikian itu disukai, hal ini
lantaran manusia telah berkerumun untuk bersalaman dengannya setelah
melakukan shalat berjamaah, apalagi ‘ashar dan maghrib, hal ini jika
persentuhannya itu memiliki tujuan baik,
berupa mengharapkan berkah dan kasih sayang atau
semisalnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/362.
Maktabah Al Misykah)
6.
Imam
Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah
Dalam kitab Fatawa-nya
tertulis:
( سُئِلَ ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ
الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ
النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ لَهَا ، وَلَكِنْ لَا
بَأْسَ بِهَا
(Ditanya) tentang apa yang dilakukan
manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu sunah atau tidak?
(Beliau menjawab): “Sesungguhnya apa
yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya,
tetapi itu tidak mengapa.” (Fatawa
Ar Ramli, 1/385. Syamilah)
7.
Imam
Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al Hanafi Rahimahullah
Beliau berkata ketika membahas
tentang shalat Id:
وَالْمُسْتَحَبُّ
الْخُرُوجُ مَاشِيًا إلَّا بِعُذْرٍ وَالرُّجُوعُ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ عَلَى
الْوَقَارِ مَعَ غَضِّ الْبَصَرِ عَمَّا لَا يَنْبَغِي وَالتَّهْنِئَةِ
بِتَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ ؛ لَا تُنْكَرُ كَمَا فِي الْبَحْرِ
وَكَذَا الْمُصَافَحَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ عَقِيبَ الصَّلَاةِ كُلِّهَا وَعِنْدَ
الْمُلَاقَاةِ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْفُضَلَاءِ
“Disunahkan keluar menuju lapangan
dengan berjalan kecuali bagi yang uzur dan pulang melalui jalan yang lain
dengan berwibawa dan menundukkan pandangan dari yang dilarang, dan menampakan
kegembiraan dengan ucapan: taqabballallahu minna wa minkum, hal ini tidaklah
diingkari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Bahr, demikian juga
bersalaman bahkan itu adalah sunah dilakukan seusai shalat seluruhnya, dan
ketika berjumpa sebagaimana perkataan sebagian orang-orang
utama.” (Majma’Al Anhar fi Syarh Multaqa Al Ab-har, A2/59. Mawqi’ Al Islam)
8.
Imam
Al Hashfaki Al Hanafi Rahimahullah
Beliau mengatakan;
أي كما تجوز
المصافحة لانها سنة قديمة متواترة لقوله عليه الصلاة والسلام: من صافح أخاه المسلم
وحرك يده تناثرت ذنوبه وإطلاق المصنف تبعا للدرر والكنز والوقاية والنقاية والمجمع
والملتقى وغيرها يفيد جوازها مطلقا ولو بعد العصر، وقولهم إنه بدعة: أي مباحة حسنة
كما أفاده النووي في أذكاره
“Yaitu sebagaimana dibolehkannya
bersalaman, karena itu adalah sunah sejak dahulu dan mutawatir, berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Barangsiapa yang bersalaman
dengan saudaranya muslim dan menggerakan tangannya maka dosanya akan
berguguran. Penulis telah memutlakan kebolehannya sebagaimana pengarang Al
Kanzu, Al Wiqayah, An Niqayah, Al Majma’, Al Multaqa dan selainnya, yang
membolehkan bersalaman secara mutlak walau setelah ‘ashar, dan perkataan
mereka: bid’ah, artinya adalah boleh lagi baik sebagaimana yang dijelaskan
An Nawawi dalam Al Adzkarnya.” (Imam Al Hashfaki, Ad Durul
Mukhtar, 5/699. Mawqi’ Ya’sub)
9.
Syaikh
‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir)
Beliau menjelaskan bahwa pada
dasarnya bersalaman adalah sunah ketika seorang muslim bertemu muslim lainnya,
berdasarkan hadits-hadits nabi yang bisa dijadikan hujjah. Namun bersalaman setelah shalat tidaklah dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat. Lalu
beliau memaparkan perbedaan ulama tentang masalah ini, antara yang
membid’ahkan, menyunnahkan, dan membolehkan; seperti pendapat Imam Ibnu
Taimiah, Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu Hajar. Lalu
beliau menyimpulkan:
والوجه المختار
أنها غير محرمة ، وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر الله به السيئات
، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور ….
“Pendapat yang dipilih adalah bahwa
hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman
ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan
saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan.
… (Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, 8/477. Syamilah).
Dan masih banyak ulama lainnya.
Para Ulama Yang Menolak
Mereka juga merupakan imam agama
yang menjadi kecintaan dan rujukan umat ini. Di antaranya:
1.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah (w. 728H)
Berikut ini dari kitabMajmu’
Fatawa-nya:
وسئل : عن المصافحة عقيب الصلاة : هل
هي سنة أم لا ؟
فأجاب :
الحمد للَّه، المصافحة عقيب الصلاة
ليست مسنونة، بل هي بدعة . والله أعلم .
Beliau ditanya tentang bersalaman
sesudah shalat, apakah dia sunah atau bukan?
Beliau menjawab: “Alhamdulillah,
bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.” Wallahu
A’lam (Majmu’ Fatawa, 23/339).
Imam Ibnu Taimiyah termasuk ulama
yang menolak pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah,
apalagi pembagian bid’ah menjadi lima; bid’ah
yang wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Baginya semua bid’ah
adalah dhalalah (sesat). Maka, maksud bid’ahnya salaman
berjamaah dalam fatwanya di atas adalah
bid’ah yang sesat. 2.
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Al Hambali Rahimahullah (w. 1420H)
Beliau ditanya tentang sebagian
manusia yang setelah shalat menjulurkan tangan untuk bersalaman ke kanan dan ke
kirinya, beliau menjawab:
المصافحة بعد سلام الإمام ليس لها أصل
بل إذا سلم يقول…
“Bersalaman setelah salamnya imam
tidaklah memiliki dasar, justru jika usai salam hendaknya mengucapkan ..(lalu
beliau memaparkan cukup panjang berbagai
dzikir setelah shalat yang dianjurkan syara’ ).
Lalu beliau melanjutkan:
وأما رفع اليدين
بعد السلام فليس له أصل لا الإمام ولا المأموم ، لا يرفع يده بالدعاء ولا يصافح
إذا سلم ، لكن يأتي بالذكر الشرعي….
“
Ada pun mengangkat kedua tangan setelah
salam tidaklah memiliki dasar, baik bagi imam dan makmum, tidak
mengangkat tangan ketika doa, dan tidak bersalaman (berjabat tangan)
setelah salam, tetapi hendaknya dia berdzikir dengan dzikir sesuai
syara’…..” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat, 29/309-310. Ar Riasah Al ‘Aamah Lil
Buhuts Al ‘ilmiyah wal ifta’)
3.
Syaikh
Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al ‘Ashimi An Najdi Al
Hambali Rahimahullah (w. 1392H)
Beliau berkata:
والمصافحة بعد
السلام من الصلاة لا أصل لها، لا بنص ولا عمل من الشارع وأصحابه، ولو كانت مشروعة
لتوفرت الهمم على نقلها، ولكان السابقون أحق بذلك، وقال الشيخ: بدعة باتفاق
المسلمين أما إذا كانت أحيانا لكونه لقيه عقب الصلاة، لا لأجل الصلاة فحسن، لكن
عند اللقاء فيها آثار حسنة.
“Berjabat tangan setelah salam
shalat tidaklah memiliki dasar, tidak dalam nash, tidak pada
perbuatan syaari’ (Rasulullah) dan sahabatnya, dan seandainya itu
disyariatkan niscaya hal itu akan dijaga dan
begitu berhasrat untuk mengambilnya, tetapi orang-orang terdahulu lebih
layak untuk melakukannya. Syaikh berkata: bid’ah menurut kesepakatan kaum
muslimin, ada pun jika dilakukan kadang-kadang saja. Karena memang
berjumpa setelah shalat, bukan karena
shalatnya itu sendiri maka itu bagus,
bersalaman ketika berjumpa maka itu memilki dampak yang
baik.” (Hasyiah Ar Raudh Al Maraba’, Juz. 2. Mawqi’ Ruh Al Islam)
4.
Para
Ulama di Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia
Berikut kami kutip dari Fatawa
Islamiyah:
ما حكم الشرع في المصافحة عقب الصلاة
، هل هي بدعة أم سنة ، وبيان أدلة الحكم ؟
ج المصافحة عقب
الصلاة بصفة دائمة لا نعلم لها أصلاً ، بل هي بدعة وقد ثبت عن رسول صلى الله عليه
وسلم أنه قال " من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد " . وفي رواية
" من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد " .
اللجنة الدائمة
“Apakah hukum syara’ tentang
bersalaman seusai shalat, apakah itu bid’ah atau sunah, dan jelaskan dalil
hukumnya?”
Jawab:
“Bersalaman setelah shalat dengan
keadaan yang dilakukan terus menerus kami tidak ketahui dasar dari perbuatan
itu, bahkan itu adalah bid’ah. Telah shahih dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: Barang siapa yang beramal yang tidak
kami perintahkan maka itu tertolak.” Dalam riwayat lain: Barang siapa yang
mengada-ada dalam urusan agama kami ini yang bukan berasal darinya maka itu
tertolak.” Lajnah Daimah (Fatawa Islamiyah, 1/ 268. Dikumpulkan dan
disusun oleh; Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid )
5.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah (w. 1421H)
Dalam fatwanya beliau berkata:
المصافحة بين
الرجل وأخيه سنة عند الملاقاة فقط وأما بعد السلام من الصلاة المفروضة فإنها ليست
بسنة إذ لم ينقل عن الصحابة رضي الله عنهم أنهم كانوا إذا سلموا من الفريضة صافح
بعضهم بعض وأما بعد السلام من النافلة فهي سنة إذا كان ذلك من الملاقاة مثل أن
يأتي رجل فيقف في الصف فيصلى تحية المسجد فإذا سلم من الصلاة صافح من على يمنه
ويساره فإن هذا يدخل في المصافحة عند الملاقاة ولا يعد هذا بدعة
“Bersalaman antara seorang
laki-laki dengan saudaranya adalah
sunah ketika bertemu saja, ada pun setelah salam dari shalat wajib, maka itu
bukan sunah. Karena tidak ada riwayat dari sahabat –radhiallahu ‘anhum- bahwa
mereka jika setelah salam dari shalat shalat wajib bersalaman satu sama lain.
Ada pun setelah shalat sunah maka itu sunah jika hal itu terjadi karena
pertemuan. Misal seseorang datang dan dia berdisi di shaf lalu shalat tahiyatul
masjid, setelah salam dari shalat dia bersalaman dengan orang di samping kanan
dan kirinya, maka ini termasuk dalam kategori bersalaman ketika bertemu dan
janganlah mengira ini bid’ah.” (Fatawa Nur ‘Alad Darb Lil
Utsaimin, pertanyaan No. 780. Syamilah)
6.
Imam
Ibnu ‘Abidin Al Hanafi Rahimahullah
Beliau salah seorang tokoh Hanafiyah
muta’akhirin. Pada bagian ini kita melihat bahwa yang menolak bersalaman
setelah shalat biasanya adalah dari kalangan Hambaliyah. Tetapi, beliau
mengisyaratkan –paling tidak dirinya sendiri- bahwa dari kalangan Hanafiyah ada
yang tidak menyukainya.
Beliau mengatakan:
لَكِنْ قَدْ
يُقَالُ إنَّ الْمُوَاظَبَةَ عَلَيْهَا بَعْدَ الصَّلَوَاتِ خَاصَّةً قَدْ
يُؤَدِّي الْجَهَلَةِ إلَى اعْتِقَادِ سُنِّيَّتِهَا فِي خُصُوصِ هَذِهِ
الْمَوَاضِعِ وَأَنَّ لَهَا خُصُوصِيَّةً زَائِدَةً عَلَى غَيْرِهَا مَعَ أَنَّ
ظَاهِرَ كَلَامِهِمْ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهَا أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ فِي هَذِهِ
الْمَوَاضِعِ
“Tetapi telah dikatakan, bahwa
menekuni hal itu (bersalaman) setelah shalat secara khusus telah membawa orang
bodoh meyakininya sebagai perbuatan yang disunahkan secara khusus pada
waktu-waktu tersebut. Dan, sesungguhnya pengkhususan itu merupakan penambahan atas selainnya yang saat bersamaan zahir ucapan mereka
sendiri menunjukkan bahwa perbuatan ini tidak dilakukan seorang pun dari
kalangan salaf yang mengkhususkan dilakukan pada waktu-waktu
tersebut.” (Raddul Muhtar, 26/437. Mawqi’ Al Islam)
7.
Imam
Ibnu Al Hajj Al Maliki Rahimahullah
Beliau mengatakan:
هذه المصافحة من
البدع التي ينبغي أن تمنع في المساجد ، لأن موضع المصافحة في الشرع إنما هو عند
لقاء المسلم لأخيه لا في أدبار الصلوات الخمس ، فحيث وضعها الشرع توضع ، فينهى عن
ذلك ويزجر فاعله ، لما أتى من خلاف السنة
“Bersalaman ini termasuk
bid’ah-bid’ah yang mesti dilarang terjadi di masjid, karena tempat bersalaman
menurut syariat adalah hanyalah pada saat bertemunya seorang muslim dengan saudaranya, bukan pada saat selesai
shalat lima waktu, maka manakala syariat telah meletakkannya maka hendaknya
diletakkan semestinya, dan yang demikian itu mesti dicegah dan pelakunya mesti
ditegur secara keras, karena dia telah mendatangkan sesuatu yang bertentangan
dengan sunah.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/363. Maktabah
Al Misykah)
Dan masih banyak ulama lainnya.
Semoga bermanfaat, dan dapat
mengambil sikap yang terbaik di tengah masyarakat.
Wallahu A’lam
Sumber : Islamedia.web.id Soal dan
Jawab.wordpress.com
Related Articles
Jika Anda menikmati artikel ini tinggal klik disini, atau berlangganan untuk menerima artikel terbaru .
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini