Category : Bahasan Utama, Haji, miqat, umrah
Transcribed : 16 Aug 2014, 20 Syawal 1435 H
Masalah miqat bagi yang
berhaji wajib dipahami. Seputar haji dengan mengutarakan dalil-dalil. Sebelumnya untuk
panduan haji sudah dibahas secara global tanpa disertakan dalil yang lengkap.
Kali ini bahasan lebih mendetail pada dalil dengan penjelasan ringkas dari para
ulama. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
إِنَّ النَّبِىَّ – صلى
الله عليه وسلم – وَقَّتَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ ، وَلأَهْلِ
الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ ، وَلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ ، وَلأَهْلِ
الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ
، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ
حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk
Syam di Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam.”
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk
masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati
kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah
haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka
miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga
dari Makkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181). Dari ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
« يُهِلُّ أَهْلُ
الْمَدِينَةِ مِنْ ذِى الْحُلَيْفَةِ وَأَهْلُ الشَّامِ مِنَ الْجُحْفَةِ وَأَهْلُ
نَجْدٍ مِنْ قَرْنٍ ». قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَبَلَغَنِى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- قَالَ « وَيُهِلُّ أَهْلُ الْيَمَنِ مِنْ يَلَمْلَمَ » “Penduduk Madinah
hendaknya memulai ihram dari Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Juhfah, dan
penduduk Nejd dari Qarn (Qarnul Manazil).” Abdullah menuturkan bahwa
ada kabar yang telah sampai padanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Penduduk Yaman memulai ihram dari Yalamlam.” (HR. Bukhari no.
130 dan Muslim no. 13). Dalam riwayat lain
disebutkan, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- وَقَّتَ لأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menetapkan untuk penduduk Irak Dzatu ‘Irqin.” (HR. Abu Daud
no. 1739, An Nasai no. 2654. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih). Dalam riwayat lain
disebutkan, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, وَمُهَلُّ أَهْلِ
الْمَشْرِقِ مِنْ ذَاتِ عِرْقٍ “Penduduk masyriq (dari
arah timur jazirah) beriharam dari Dzatu ‘Irqin.” (HR. Ibnu Majah no. 2915. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Tempat Miqat Miqat makaniyah yaitu
tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau umrah. Ada lima tempat:
(1) Dzul Hulaifah (sekarang
dikenal: Bir ‘Ali), miqat penduduk Madinah, miqat yang jaraknya paling jauh.
(2) Al Juhfah, miqat
penduduk Syam dan penduduk Maghrib (dari barat jazirah). (3) Qarnul Manazil (sekarang
dikenal: As Sailul Kabiir), miqat penduduk Najed. (4) Yalamlam (sekarang
dikenal: As Sa’diyah), miqat penduduk Yaman. (5) Dzatu ‘Irqin (sekarang
dikenal: Adh Dhoribah), miqat pendudk Irak dan penduduk Masyriq (dari timur
jazirah). miqat_haji_01 Masuk Daerah Miqat Harus
Berihram Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ
أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ “Miqat-miqat tersebut
sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang
lain yang hendak melewati kota-kota tersebut padahal dia bukan penduduknya namun
ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah.” Itu berarti siapa saja yang
melewati kota atau daerah miqat tersebut haruslah dalam keadaan berihram.
Termasuk juga bagi yang bukan penduduk kota tersebut yang berasal dari luar
ketika melewati miqat tadi, maka harus dalam keadaan berihram. Seperti misalnya penduduk
Najed (kota Riyadh, Qasim sekitarnya), ada yang mengambil miqat bukan di Qarnul
Manazil, namun ia mengambil miqat dari Dzatu ‘Irqin yang merupakan miqat
penduduk Irak. Seperti itu dibolehkan. Sebagaimana dibolehkan
pula jika penduduk Syam dan Mesir mengambil miqat dari miqatnya penduduk Madinah
yaitu di Dzul Hulaifah, bukan di Juhfah. Melewati Miqat Tanpa
Berihram Kata Syaikh As Sa’di
rahimahullah, “Siapa saja yang melewati daerah miqat tanpa berihram, maka ia
harus kembali ke miqat tersebut. Ia harus kembali berihram dari miqat yang
teranggap tersebut. Jika tidak kembali, maka ia punya kewajiban membayar dam.” (Syarh
Umdatil Ahkam, hal. 389). Contoh penduduk Indonesia
yang ingin langsung berhaji atau umrah menuju Makkah, ada yang tidak berniat
ihram padahal sudah melewati miqat Yalamlam. Ini merupakan kekeliruan dan ia
terkena dam seperti kata Syaikh As Sa’di di atas jika tidak mau kembali ke
miqat. Apakah itu Berlaku Bagi
yang Mau Berhaji dan Umrah Saja? Menurut pendapat yang
lebih kuat dan pendapat ini dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah karena
berpegang pada tekstual hadits, yang mesti berihram ketika masuk daerah miqat
adalah yang punya niatan haji dan umrah saja. Adapun jika niatannya untuk
berdagang dan lainnya, maka tidak diwajibkan dalam keadaan berihram. Namun para
ulama katakan bahwa siapa saja yang memasuki kota Makkah sebaiknya dalam keadaan
berihram. Lihat Syarh ‘Umdatil Ahkam karya Syaikh As Sa’di, hal. 390.
Bagi yang Berada di Dalam
Daerah Miqat dan Berada di Makkah Bagi penduduk Jeddah
misalnya, atau penduduk Makkah, mereka semuanya berada dalam daerah miqat, jika
mereka ingin berhaji atau berumrah, maka hendaklah berihram dari tempat mereka
mulai safar, bisa dari rumah mereka. Syaikh As Sa’di
mengatakan, “Penduduk Makkah bisa berihram untuk haji dari Makkah. Namun untuk
umrah, hendaklah keluar menuju tanah halal untuk berniat ihram dari situ.”
(Idem). Jika ada yang berkata,
“Kenapa haji dan umrah bisa dibedakan seperti itu? Ini dikarenakan seluruh
akitivitas umrah berada di tanah haram (tidak keluar ke tanah halal), maka
diperintahkan ia keluar untuk berihram dari tanah halal. Adapun haji, tidak
diharuskan berihram dari tanah halal. Karena aktivitas haji tidak semuanya di
tanah haram, bahkan ada yang dilakukan di luar tanah haram, yaitu ketika wukuf
di Arafah.” (Idem). Semoga bermanfaat, hanya
Allah yang memberi taufik. Referensi:
Syarh ‘Umdatil Ahkam,
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama,
tahun 1431 H. Rewritten by :
Rachmat Machmud end Republished by :
Redaction Duta Asri Palem 3
|
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini