wawancara Para pembaca yang budiman, kali ini kami akan melakukan wawancara sebagai bentuk usaha dalam meluruskan pemahaman tentang siapa itu “Wahabi”.
Artikel ini lahir saat kami usai membaca sebuah artikel dalam bentuk wawancara yang di dalamnya sebagai pembicara yang diwawancarai adalah Habib Ali Hasan Bahar, mantan Ketua Habaib DKI Jakarta, kepada Moh Anshari dari Indonesia Monitor.[1]
Dia juga merupakan alumunus Universitas Kerajaan Yordania yang kini aktif di Islamic Centre Kwitang dan UIN Jakarta.
Wawancara dengan Sang Habib berkisar seputar keresahannya terhadap munculnya Dakwah Wahabi (yakni, Ahlus Sunnah). Semua hasil wawancara itu dibangun di atas sangkaan tanpa bukti yang jelas. Padahal Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ [الحجرات/12]
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan (meng-ghiba) satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hujurat : 12)
Di dalam wawancara itu terdapat banyak kerancuan, sebab semua jawaban dalam wawancara sang Habib hanya dibangun di atas buruk sangka, benci dan tanpa bukti yang akurat. Dia hanya membangun sebuah opini buruk tentang Wahabi dengan membangun sebuah kerangka berpikir yang salah. Sang Habib hanya menghubungkan suatu asumsi dengan asumsi lain, lalu mengeluarkan sebuah kesimpulan yang masih mungkin diperdebatkan, karena tak memiliki data autentik dan menyelisihi realita.
Para pembaca yang budiman, kerancuan dan buruk sangka itu harus kita hapus dengan ilmu dan kebenaran. Oleh karena itu, kali ini kami mengajak anda untuk mendengarkan hasil perbincangan dan wawancara dengan seorang Alumni Islamic University of Madinah, Saudi Arabiah, yaitu Al-Ustadz Abul Fadhilah Al-Makassariy yang sekarang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan, Gowa, Sulsel.
Sengaja kami melakukan wawancara dengan Al-Ustadz Abul Fadhilah Al-Makassariy, karena beliau adalah orang yang pernah disana selama lima tahun, tentunya lebih paham dengan kondisi disana dibandingkan dengan Sang Habib.
Berikut ini wawancara dengan beliau :
Reporter Al-Ihsan (RI):
Apa sih sebenarnya Dakwah Wahabi?
Abul Fadhilah (AF) :
Dakwah Wahabi adalah dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebab, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- berjalan di atas manhaj dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab yang beliau tulis, semisal: Al-Ushul Ats-Tsalatsah, Kitabut Tauhid, Al-Qowa’id Al-Arba’,Al-Ushul As-Sittah, Masa’il Al-Jahiliyyah, Ushul Al-Iman, dan lainnya. Semua kitab-kitab ini dan lainnya diantara karya tulis beliau merupakan bukti autentik tentang aqidah dan manhaj beliau yang lurus dalam beragama.
Kemunculan dakwah beliau di Jazirah Arab dimaksudkan untuk membersihkan akidah dari perilaku-perilaku syirik sebagaimana dahulu para nabi dan rasul berdakwah[2]. Oleh karena itu, amat mengherankan jika ada yang membenci dakwah para nabi yang diemban berikutnya oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
RI :
Lantas kenapa dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Jazirah Arab disebut “Wahabi”? Kepada siapakah nisbah itu?
AF :
Dakwah Ahlus Sunnah dahulu tak dikenal dengan “Dakwah Wahabi”. Sebutan Wahabi hanyalah muncul dari kalangan musuh-musuh beliau, seperti penjajah Inggris, kaum sufi, ahli kalam (Asy’ariyyah dan Maturidiyyah).Sebutan itu menurut mereka dinisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab. Yakni, penisbahannya pada kata kedua, yang merupakan sebuah nama diantara nama-nama Allah -Azza wa Jalla-. Ini asal penisbahannya.
RI : Apakah gelar Wahabi ini mereka pakai dan sukai?
AF:
Setahu kami gelar Wahabi ini tak pernah mereka pakai dan sebarkan. Yang menyematkan dan menyebarkan istilah itu adalah para penjajah Inggris dan musuh-musuh dakwah Ahlus Sunnah yang lainnya di zaman itu, sebagaimana yang telah kami sebutkan tadi.
RI :
Siapakah sebenarnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab? Dilahirkan dimana?
AF:
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang lahir dalam lingkungan ulama. Nama asli beliau adalah Muhammad bin Abdil Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rosyid bin Barid bin Muhammad bin Barid bin Musyrif bin Umar bin Mi’dhod bin Idris bin Ali bin Muhammad bin Alawiy bin Qosim bin Musa bin Mas’ud bin Uqbah Mas’ud bin Haritsah bin Amer bin Robi’ah bin Sa’idah bin Tsa’labah bin Robi’ah bin Mulkan bin Adi bin Abdi Manah bin Tamim[3].
Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H di Uyainah salah satu tempat di Negeri Najd dan wafat 1206 H dengan umur 91 tahun. Orang tua beliau adalah seorang ulama di zamannya.
Dari masa kecilnya sudah tampak keistimewaan pada diri beliau. Hal itu tampak dengan kemampuan beliau menghafal Al-Qur’an sebelum usia 10 tahun. Beliau di masa kecil tergolong anak yang cepat memahami pelajaran, tajam pikirannya, kuat hafalannya dan fasih bahasanya.
Awal kali beliau belajar pada ayahnya seorang ulama di zamannya yang bernama Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman sebelum beliau melakukan rihlah (perjalanan panjang) dalam mencari ilmu agama. Saking cerdasnya sampai ayahnya mengaku biasa mengambil faedah dari Muhammad bin Abdul Wahhab kecil.
Ketika beliau sudah baligh, ayahnya langsung menikahkan beliau. Tak lama kemudian beliau melakukan haji dan kunjungan ke Kota Madinah. Beliau telah belajar kepada orang tuanya dan menyelesaikan fiqih berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin Hambal (Penulis Al-Musnad).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab setelah itu melakukan berbagai perjalanan menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Al-Ihsa’, Bashrah. Diantara guru-guru beliau, Syaikh Abdullah bin Ibrahim An-Najdiy, Syaikh Muhammad Hayah As-Sindiy, Abul Mawahib Al-Ba’liy Ad-Dimasyqiy dan lainnya.[4]
Sepulang menuntut ilmu, maka beliau berdakwah di kalangan kaumnya sampai banyak menentang beliau, termasuk ayah beliau dan saudaranya yang bernama Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Bahkan terjadi bantah-membantah, walaupun pada akhirnya saudara beliau rujuk dari sikapnya selama ini menentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-[5].
Itulah buah kesabaran beliau.
Di masa beliaulah tersebar kesyirikan dan merajalela dimana-mana. Banyak kuburan yang disembah, banyak manusia dan makhluk yang dikultuskan bagaikan tuhan. Semua ini membuat beliau bangkit untuk meluruskannya bersama Raja Muhammad bin Su’ud sampai kesyirikan bersih dari dua tanah haram :
Makkah dan Madinah. Bahkan semua wilayah yang dikuasai oleh Raja Muhammad bin Su’ud -rahimahullah-.
RI :
Betulkah Wahabi (baca: Ahlus Sunnah) di Indonesia punya misi ingin menguasai Indonesia baik dari sisi teritorial, maupun ekonomi?
AF :
Dakwah Ahlus Sunnah bukanlah dakwah yang cinta kekuasaan, sehingga tidak tepat jika mereka pun dituduh demikian. Cuma memang dewasa ini dakwah Ahlus Sunnah yang mereka gelari dengan “Wahabi” amat berkembang pesat dengan berbagai macam fasilitas yang memudahkan dakwah dari bantuan Timur Tengah. Hal inilah membuat sebagian orang cemburu dan hasad serta sakit hati dan resah.
Padahal yang disebarkan oleh Ahlus Sunnah adalah dakwah kepada kebaikan. Namun anehnya mereka tetap resah. Sementara kalau dakwah Syi’ah, JIL, LDDI, Ahmadiyah dan lainnya yang tersebar, maka mereka tak resah seperti resahnya mereka saat melihat perkembangan pesat dakwah Ahlus Sunnah yang mereka namai dengan “Wahabi”. Sungguh sikap seperti ini tak adil!!
Jangan sampai karena kebencian kita kepada orang-orang Saudi membuat kita berbuat curang dan tidak adil terhadap mereka, sehingga kita pun mebuat kedustaan atau tuduhan yang melecehkan dan merendahkan mereka. Padahal semua itu tak ada. Semua hanya lahir dari prasangka buruk terhadap mereka.
Allah -Ta’ala- berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ [المائدة/8]
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan”. (QS. Al-Maa’idah : 8 )
RI :
Betulkah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab keras, radikal, ekstrim dan semacamnya?
AF :
Dakwah beliau bukanlah dakwah yang keras, bahkan beliau orang yang dikenal lembut kepada manusia di zamannya. Sebagian orang mengira beliau keras, karena memerangi sebagian orang-orang yang memerangi beliau. Sudah suatu perkara lumrah jika orang lain memerangi kita, maka pasti kita juga melakukan perlawanan. Misalnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendakwahi mereka dengan tauhid dan melarang mereka dari berbuat syirik. Mereka akhirnya marah, melawan, memfitnah dan menolak serta memerangi dakwah beliau. Disinilah terjadi peperangan.
Kalau beliau dikatakan radikal, maka juga kurang tepat. Dari sisi mana dikatakan radikal [6]. Kalau dikatakan ekstrim (berlebihan), maka dakwah beliau tidaklah melebihi batas agama. Beliau mendakwahkan tauhid, masakdibilang radikal atau ekstrim. Justru orang yang menolak tauhid dan memelihara syirik itulah yang ekstrim!!Yakni, ekstrim dalam kesyirikannya!!!
RI :
Betulkah Wahabi menguasai Makkah dan Madinah dengan berbagai cara sampai banyak ulama menjadi korban?
AF :
Pertama, Ahlus Sunnah yang dikenal dengan “Wahabi” bukanlah manusia badui yang jahil. Mereka melakukan dakwah dan peperangan berdasarkan bimbingan wahyu. Kedua, dikatakan bahwa banyak ulama menjadi korban. Nah, ulama siapa dulu? Kalau ulama pembela kesyirikan, maka mereka diperangi setelah tegaknya hujjah [7]. Mereka telah dinasihati dan disampaikan hujjah, namun mereka tetap melawan, bahkan memerangi bendera tauhid yang dikibarkan oleh Syaikh. [8]
RI :
Ada berita tersebar bahwa Ahlus Sunnah yang digelari Wahabi oleh kaum sufi, katanya ingin menghilangkan makam Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Menurut Ustadz Abul Fadhilah apakah ini benar?!
AF :
Jelas ini berita bohong. Ini salah satu berita bohong yang disandarkan kepada Ahlus Sunnah yang dikenal dengan istilah “Wahabi”.
Andaikan makam Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mau dihilangkan oleh mereka, maka dari dulu sejak mereka berkuasa, maka pasti mereka sudah hilangkan. Tapi realita tidak demikian. Kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sampai hari ini masih ada dan mereka jaga dari segala macam makar dan perbuatan jahiliah.
Makanya, hari ini kalau anda ke Madinah, anda akan melihat beberapa petugas di sekitar makam Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- demi menjaganya dari hal-hal itu.
Berita itu hanya fitnah dan kabar miring yang tak perlu ditoleh. Masak Ahlus Sunnah mau menghilangkan kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-??!
Sungguh berita ini amat menyakitkan orang-orang Saudi, bila mereka mendengarkannya. Bahkan seluruh orang beriman akan sakit hati jika mendengarkan berita bohong ini jika disandarkan kepada Saudi, sementara mereka bersih darinya.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا [الأحزاب/58]
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka (yang menyakiti) telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. (QS. Al-Ahzaab : 58)
Allah -Ta’ala- berfirman,
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (15) وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (16) يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (17) [النور/15-18]
“(Ingatlah) diwaktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikitpun, dan kalian menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal di sisi Allah adalah (perkara yang sangat) besar.” (QS. An-Nur:15)
RI :
Sejauh mana pandangan anda tentang tuduhan sebagian orang bahwa dakwah Wahabi memakai cara-cara yang disebut dengan istilah ‘Badui-Wahabi’, yakni cara-cara barbar, kekerasan, dan agresif, misalnya penghancuran kuburan dan diratakan dengan tanah.
AF :
Meratakan kuburan bukanlah cara-cara badui atau barbar!! Bahkan itu merupakan sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-!!! Tidakkah anda pernah membaca sebuah hadits yang menjelaskan hal itu?
RI :
Kayaknya pernah. Cuma tidak hafal.
AF :
Baiklah kami akan bawakan kepada anda sejumlah hadits tentang sunnahnya meratakan tanah kuburan agar kita tahu bahwa itu bukan cara barbar alias badui, bahkan itu adalah sunnahnya kakek sang Habib, yakni Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Dari Tsumamah bin Syufaiy -rahimahullah- berkata,
كُنَّا مَعَ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ بِأَرْضِ الرُّومِ بِرُودِسَ فَتُوُفِّىَ صَاحِبٌ لَنَا فَأَمَرَ فَضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ بِقَبْرِهِ فَسُوِّىَ ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا.
“Kami dahulu pernah bersama Fadholah bin Ubaid di Negeri Romawi, di Rodhes. Kemudian meninggallah seorang teman kami. Fadholah bin Ubaid (seorang sahabat, pen.) memerintahkan (agar kuburnya diratakan). Akhirnya, kuburnya diratakan. Lalu berkatalah Fadholah, “Aku telah mendengarkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- memerintahkan perataan kuburan”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya, Kitab Al-Jana'iz, bab: Al-Amr bi taswiyah Al-Qobr (no. 968)]
Abul Hayyaj Al-Asadiy -rahimahullah- berkata,
قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Ali bin Abi Tholib berkata kepadaku, “Tidakkah kamu mau aku utus untuk sesuatu yang dahulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengutusku untuknya?, yaitu agar jangan kamu biarkan suatu gambar, kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang menonjol, kecuali engkau meratakannya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 969)]
Perhatikanlah wahai saudaraku, apakah meratakan kubur adalah perilaku biadab, barbar, badui dan semacamnya?! Jelas bukan perilaku badui dan barbar. Bahkan perilaku manusia terbaik dan perintah dari dua kakek Habib Ali Hasan Bahar, yaitu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu-.
RI :
Sekarang saya amat paham. Kalau masalah membangun sesuatu di atas kubur berupa rumah kecil atau cungkup di atas kubur, apakah hal ini juga dilarang dalam agama Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-?
AF :
Hal ini juga terlarang dalam agama!!! Kalau anda pernah mendengar bahwa orang Wahabi melarangnya, maka ketahuilah bahwa mereka telah benar dan mencocoki ajaran Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam melarang hal itu.
RI :
Kenapa mereka melarang? Apa dasarnya dalam Sunnah?
AF :
Mereka melarang membuat bangunan di atas kubur, karena Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- melarangnya.
Dari Jabir -radhiyallahu anhu- berkata,
نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يقعد عليه وأن يبنى عليه
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang dari mengapuri kubur, atau duduk di atasnya atau dibuat bangunan di atasnya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 970)]
Inilah sunnahnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, kakek dari Habib Ali Hasan Bahar. Semoga Sang Habib tidak menyangka bahwa membuat cungkup adalah boleh-boleh saja. Semoga beliau juga tidak menuduh orang yang melarangnya adalah orang yang badui, barbar dan semacamnya!!!
Jadi, meratakan kubur –apalagi jika dikultuskan-, dan melarang dibuat bangunan di atasnya merupakan sunnah (jalan)nya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Sedang orang yang menganggapnya baik –padahal buruk-, maka sungguh telah mengada-adakan pemikiran dan pemahaman bid’ah lagi sesat!!
Kemudian tak lupa kami perlu jelaskan bahwa meratakan dan menghancurkan tempat-tempat keramat, kesyirikan dan kekafiran bukanlah perkara baru yang tak ada contohnya di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Itu bukanlah perbuatan radikal, ekstrim, keras, badui, dan lainnya!!!
Bahkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengirim sebagian sahabat dalam memberantas tempat-tempat yang menjadi situs dan praktek kesyirikan.
Dari Abu Ath-Thufail berkata,
لمَاَّ فَتَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ إِلَى نَخْلَةَ وَكَانَتْ بِهَا الْعُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ وَكَانَتْ عَلَى ثَلاَثِ سَمُرَاتٍ, فَقَطَعَ السَّمُرَاتِ وَهَدَمَ الْبَيْتَ الَّذِيْ كَانَ عَلَيْهَا, ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: اِرْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَصْنَعْ شَيْئًا, فَرَجَعَ خَالِدٌ, فَلَمَّا أَبْصَرَتْ بِهِ السَّدَنَةُ وَهُمْ حَجَبَتُهَا أَمْعَنُوْا فِي الْجَبَلِ وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ: يَا عُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ, فَإِذَا هِيَ امْرَأَةٌ عُرْيَانَةٌ نَاشِرَةٌ شَعْرَهَا تَحْتَفِنُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهَا, فَعَمَّمَهَا بِالسَّيْفِ حَتَّى قَتَلَهَا, ثُمَّ رَجَعَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: تِلْكَ الْعُزَّى
“Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah merebut kota Makkah, maka beliau mengutus Kholid bin Al-Walid ke daerah Nakhlah, sedang di sana terdapat Uzza. Kholid pun mendatanginya, dan Uzza berupa tiga pohon berduri. Kemudian Kholid menebas pohon-pohon tersebut, dan merobohkan bangunan yang terdapat di atasnya. Lalu ia mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu kepada beliau. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Kembalilah, karena engkau belum berbuat apa-apa”. Kholid pun kembali. Tatkala ia dilihat para security (para penjaga) Uzza, maka mereka mengintai di atas gunung seraya mereka berkata, “Wahai Uzza”. Kemudian Kholid mendatangi Uzza, tiba-tiba ada seorang wanita telanjang yang mengurai rambutnya sambil menaburkan debu di atas kepalanya. Akhirnya Kholid menebas wanita itu dengan pedang sehingga ia membunuhnya. Beliaupun kembali ke Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Itulah Uzza”. [HR. An-Nasa'iy dalam As-Sunan Al-Kubro (6/474/no. 11547), Abu Ya'laa Al-Maushiliy dalam Al-Musnad (no. 902) dan Adh-Dhiya' Al-Maqdisiy dalam Al-Ahadits Al-Mukhtaroh (no. 258 & 259).
Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Ali bin Sinan dalamTakhrij Fath Al-Majid (no. 103)]
Jadi, sekali lagi membongkar dan menghancurkan situs dan tempat keramat dan kesyirikan bukan sikap barbarisme!!
RI :
Ada rumor tersebar bahwa Wahabi dilahirkan oleh imprealis Inggris untuk memecah-belah kekuatan Islam?
AF :
Rumor ini tidak benar sama sekali. Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ahlus Sunnah di zamannya sampai hari ini menjadi boneka dan alat dalam memecah-belah kekuatan Islam. Justru mereka adalah batu sandungan terbesar bagi Inggris dan sekutunya. Suatu perkara mustahil orang kafir mencintai negara yang menerapkan hukum Allah ‘syariat Islam’.[9]
Adapun indikasi “kuat”, padahal lemah, yang diisyaratkan oleh Sang Habib. Katanya bersumber dari seorang dai di Al-Jaza’ir, maka kami katakan bahwa sumber itu tidak jelas siapa orangnya? Apa orangnya jujur atau pendusta? Kemudian tak ada bukti dan data akurat. Hanya persangkaan belaka yang masih bisa diperdebatkan dan disanggah dengan mudah, insya Allah.
RI :
Oh, gitu ya. Baiklah. Saya mau bertanya kepada Ustadz Abul Fadhilah, “Ada orang yang menuduh bahwa Ahlus Sunnah yang mereka gelari “Wahabi” adalah kaum suka menganggap orang yang berbeda dengan mereka sebagai kafir“. Betulkah tuduhan itu?
AF :
Tuduhan ini tak betul. Ahlus Sunnah saat menghadapi orang yang berbeda dalam perkara ijtihad, tidaklah mudah mengkafirkan orang!! Orang yang terjerumus saja dalam kekafiran dan kesyirikan, mereka tak kafirkan langsung, tanpa memperhatikan syarat-syaratnya. Ahlus Sunnah tidaklah demikian. Mereka amat menjaga lisannya dari mengkafirkan orang.
Adapun orang-orang yang terjatuh dalam kekafiran setelah terpenuhinya syarat-syarat bolehnya mengkafirkan orang, maka Ahlus Sunnah memang telah mengkafirkan beberapa orang semisal, Musailamah Al-Kadzdzab, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Mirza Ghulam Ahmad, Jahm bin Shofwan dan lainnya.
Ini bukan sikap ekstrim!! Bahkan sikap pertengahan yang selalu dipijaki oleh Ahlus Sunnah!!!
RI :
Bagaimana tanggapan anda tentang orang yang menyatakan bahwa Wahabi (baca : Ahlus Sunnah) suka menuduh bid’ah dan suka mengafirkan, tidak toleran, kaku, literalis?
AF :
Ahlus Sunnah dari zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sampai zaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan sampai sekarang, mereka tidaklah mudah mencap orang sebagai ahli bid’ah, kafir, musyrik, munafik, kecuali setelah terpenuhinya syarat-syarat dalam menghukumi seseorang.
Justru kita bisa balik menyatakan bahwa orang yang tidak membid’ahkan, dan tidak mengkafirkan orang, maka ia adalah orang yang jahil tentang agama, manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Memang Ahlus Sunnah mengakui bahwa bermudah-mudah dalam mengafirkan atau membid’ahkan dengan tanpa memerhatikan syarat-syarat dalam hal itu dan penghalangnya, maka pelakunya jelas salah [10].
Tapi apakah Ahlus Sunnah yang dirumorkan selama ini, salah dalam menerapkan hal itu? Kalau salah apa buktinya?! dan apa kaedah dan dasarnya?!!
Orang-orang yang menyalahi jalannya ahlus Sunnah dalam hal ini justru akan menjadi alat bagi orang asing dalam memecah belah kaum muslimin, tanpa mereka sadari.
RI :
Kalau ada yang bilang sejak awal kemunculan Wahabi bermotif politis-kekuasaan [11]. Lalu ada kepentingan-kepentingan yang memanfaatkan gerakan tersebut, termasuk kepentingan asing.
AF :
Disini perlu kami jelaskan bahwa kemunculan Ahlus Sunnah di zaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, lalu didukung oleh Raja Muhammad bin Su’ud, bukanlah dilatari semata kekuasaan, bahkan keprihatinan atas kondisi masyarakat yang kala itu jauh terperosok dalam jurang kesyirikan, kesesatan dan kekafiran, akibat tersebarnya berbagai macam pemikiran dan tarekat yang berbahaya dan merongrong dasar agama kaum muslimin. Di sisi lain, kondisi itu diperparah dengan adanya dukungan dari para ulama suu’ (buruk) yang menghias-hiasi kesyirikan, kekafiran dan kesesatan sebagai sesuatu yang baik atau minimal boleh-boleh saja!! Na’udzu billah.
Ulama-ulama suu’ itu juga ikut memanas-manasi keadaan sehingga pemicu terjadinya perang. Mereka menyebarkan isu yang tak benar tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-.
Inilah kondisi sosial dan kemasyarakatan yang ada di zaman beliau -rahimahullah-. Memang kala itu banyak yang kaget, marah, hasad dan dendam atas munculnya dakwah tauhid dan sunnah yang memerangi segala macam bentuk kesyirikan dan bid’ah.
Kalau mereka dikatakan sebagai kaki tangan asing, maka ini hanyalah tuduhan kosong, tanpa bukti. Justru kerajaan Inggris saat mendengar munculnya Kerajaan Tauhid, Saudi Arabiah, maka mereka memanfaatkan negara-negara kaum muslimin yang sudah mereka caplok untuk memerangi Kerajaan Saudi.
Akhirnya, terjadilah perang saudara dan runtuhlah Dinasti Saudi pertama, lalu para pemimpin dan ulama Saudi di penjara dan diasingkan. Walau pun Saudi setelah itu bangkit lagi dan sampai hari ini pun para pemimpin negara sekutu terus berusaha menggulingkan Negara Tauhid, Saudi Arabiah. Semoga Allah menolong, melindungi dan memberi taufiq kepada mereka, amin…
RI :
Kelihatannya Habib Ali Hasan Bahar membawakan sebuah fakta yang perlu dikritisi. Dia ingin menguatkan dugaan bahwa kemunculan Wahabi ada campur tangan asing.
Faktanya menurut dia bahwa pernah ada fatwa dari mufti Saudi untuk jihad ke Afganistan, karena kader-kader Wahabi yang berjihad ke Afghanistan itu sebenarnya hasil rekayasa intelijen Eropa Barat untuk menghabisi pengaruh komunisme Eropa Timur di Afghanistan.Afghanistan menjadi lahan pertempuran dua ideologi; ideologi Barat dan ideologi Timur.
Ini penuturan Sang Habib. Menurut Ustadz Abul Fadhilah gimana ini?
AF :
Semua ini hanyalah sangkaan yang lemah dan batil [12]. Adanya fatwa jihad ke Afganistan, mungkin karena saat itu, jihad ke sanalah yang memungkinkan. Sedang jihad ke Palestina mungkin saja berat menurut ulama saat itu. Karena berhadapan dengan Yahudi, berarti berhadapan dengan negara-negara multinasional. Wallahu A’lam, yang jelas, semua korelasi yang disebutkan hanyalah asumsi yang masih bisa diperebatkan dan butuh data serta fakta akurat.
Kalau kita mau membuat asumsi, lalu dihubungkan dengan asumsi lain, maka tak ada manusia yang selamat dari tuduhan-tuduhan keji. Bahkan Sang Habib pun dapat kami tuduh sebagai kaki tangan asing, dengan membuat asumsi-asumsi buruk, lalu dihubungkan untuk membuat kesimpulan bahwa ia adalah kaki tangan asing dalam memecah belah kaum muslimin.
Namun tentunya sikap seperti ini kami tak akan lakukan, karena hanya menimbulkan hal-hal yang negatif.
RI :
Ada yang menyatakan bahwa Wahabi (baca: Ahlus Sunnah) di Indonesia mendapatkan suntikan dana dari
Timur Tengah?
AF :
Mungkin ya, mungkin tidak. Kalau ya, kenapa kita pusingi? Bukankah juga aliran-aliran sesat dan kafir, kayak Ahmadiah dan Syi’ah juga mendapatkan suntikan dana. Nah, kenapa bukan ini yang disoroti.
RI :
Ada penyataan Habib Ali Hasan Bahar bahwa Wahabi dan Ikhwanul Muslimin beda. Gimana ini?
AF :
Betul beda antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mereka sebut “Wahabi” dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Karena, Ahlus Sunnah melarang memberontak melawan pemerintah muslim, sementara IM membolehkan hal itu dan sebagian tokohnya mengafirkan kaum muslimin.
RI :
Apa memang Ahlus Sunnah mengafirkan HTI dan IM?
AF:
Tidak!! Sama sekali tidak!!! Walaupun sebagian tokohnya terjatuh dalam sikap yang dapat membuatnya kafir. Namun Tak ada yang menghukuminya kafir. Jadi, tak benar jika Ahlus Sunnah mengafirkan dua kelompok ini. Itu hanya berita bohong yang harus dipertanggungjawabkan oleh si pengucap, termasuk Habib Ali Hasan Bahar.
Demikian pula prediksi yang disebutkan terakhir oleh Sang Habib dari Mohammed Arkoun asal Maroko, semuanya dibangun di atas prasangka, asumsi lemah yang tak perlu dibantah.
RI :
Terakhir Ustadz kami mau tanya. Apa perbedaan Asy’ariyyah dengan Ahlus Sunnah? Ini perlu kami tanyakan, karena banyak orang yang rancu dalam membedakannya. Sebagian orang salah kaprah dan mengira Asy’ariyyah itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sampai mereka menggelari diri dengan “Aswajah” (Singkatan dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
AF:
Ahlus Sunnah adalah pengikut setiap Al-Qur’an dan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berdasarkan bimbingan para sahabat dan para ulama yang mengikuti jalan hidup mereka dalam beragama, seperti Imam Malik, Asy-Syafi’iy dan lainnya.
Mereka adalah pengikut Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang setia memegangi ajaran beliau, baik dalam akhlaq, ibadah, aqidah dan lainnya.
Adapun Asy’ariyyah, maka ia adalah paham yang baru muncul di zaman Abul Hasan Al-Asy’ariy (kelahiran 260 H atau 270 H) [13]. Jadi, paham ini muncul sekitar abad ketiga. Sementara Ahlus Sunnah merupakan pemahaman beragama yang diajarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada para sahabat, lalu para sahabat mewariskannya kepada para ulama dan generasi setelahnya.
Paham Asy’ariyyah termasuk paham yang dicetuskan oleh seorang ahli kalam, yaitu Abul Hasan Al-Asy’ariy. Jadi, beda antara kelompok Ahlus Sunnah dengan Asy’ariyyah. Asy’ariyyah amat mengandalkan akal dalam perkara-perkara ilahiyyah yang sifatnya gaib, sementara Ahlus Sunnah membatasi ruang gerak akal dalam perkara itu, tapi bukan berarti mematikan fungsi akal secara total [14].
Ahlus Sunnah mencela ilmu kalam, sementara Asy’ariyyah pengagum ilmu kalam. Ini perbedaan sederhana.
Orang-orang ahli kalam –semisal Asy’ariyyah- telah berbicara tentang nama-nama Allah tanpa ilmu. Mereka dalam hal itu mendahulukan akalnya yang lemah di atas Al-Kitab dan Sunnah serta pemahaman As-Salaf Ash-Sholih. Mereka telah melakukan pembatasan nama dan sifat-sifat Allah, tanpa hujjah yang nyata. Semuanya berdasarkan takwil buta [15].
Adapun Ahlus Sunnah dalam hal itu menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan bagi Allah, tanpa takwil, tasybih (penyerupaan), takyif (menanyakan cara dan bentuknya), dan tanpa tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah) [16].
Catatan: Abul Hasan Al-Asy’ariy dalam hidupnya melalui tiga fase. Fase pertama sebagai tokoh Mu’tazilah yang mengikuti bapak tirinya Abu Ali Al-Jubba’iy.
Fase kedua ia mengikuti sekte dan paham Kullabiyyah yang pernah dicetuskan oleh seorang ahli kalam bernama Abdullah bin Sa’id bin Kullab. Pemikiran di fase inilah yang kita kenal hari ini dengan paham “Asy’ariyyah” yang ia tuangkan dalam kitabnya Al-Luma’.
Fase ketiga, ini yang banyak tidak diketahui oleh orang Indonesia, yaitu fase perpindahan beliau kepada paham dan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Walaupun dalam fase ini pemahaman beliau belum sepenuhnya sama persis dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, para sahabat, tabi’in dan tabi’in.
Ini sebagaimana yang anda lihat dalam tiga kitabnya yang mashur: “Maqolat Al-Islamiyyin”, “Al-Ibanah an Ushul Ad-Diyanah”, dan “Risalah ila Ahli Ats-Tsaghr”. Wallahu a’lam bish-showab. Washollallahu ala Nabiyyina wa ala alihi wa shohbih wa sallam.
[1] Sumber : Indonesia Monitor, Edisi 61 Tahun II/26 Agustus – 1 September 2009
[2] Ini juga diakui oleh Sang Habib.
[3] Lihat At-Taudhih an Tauhid Al-Khollaq fi Jawab Ahlil Iraq (1/25) oleh Syaikh Sulaiman bin Abdillah Alusy Syaikh -rahimahullah- dan Shiyanah Al-Insan an Waswasah Asy-Syaikh Dahlan (hal. 421) oleh Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawaniy Al-Hindiy -rahimahullah- serta Tash-hih Khotho’ Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah (hal. 4).
[4] Adapun tuduhan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab belajar kepada Orinetalis dan Agen rahasia Inggris bernama Hempher, maka ini adalah satu kedustaan atas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-.
[5] Oleh karenanya, buku bantahan Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab yang disebarkan oleh sebagian situs NUharus ditarik, karena itu adalah buku lama sebelum penulisnya rujuk.
[6] Kalau sekedar menuduh, maka semua orang bisa melakukannya. Tapi yang berat adalah pertanggungjawabannya di depan Allah!!
[7] Mungkin juga mereka diperangi, karena mereka lebih dulu memerangi. Masak tinggal diam tidak membela diri?!! Karena di zaman itu Ahlus Sunnah sering difitnah sampai banyak orang yang membencinya, bahkan memeranginya.
[8] Lihat Ad-Durar As-Saniyyah fi Al-Ajwibah An-Najdiyyah (1/102-104) dalam bab : tentang surat beliau dalam membantah tuduhan bahwa Raja Muhammad bin Su’ud dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memerangi semua orang, baik alim, maupun jahil.
[9] Justru orang-orang yang benci Negara Tauhid ‘Saudi Arabiah’ (negara yang menerapkan syariat Islam) adalah orang yang harus dicurigai; jangan sampai ia (orang yang benci) ini adalah boneka dan kaki tangan kaum kafir dalam meruntuhkan dan melemahkan negara Islam (Saudi), baik sadar atau tidak!! Memang inilah yang diinginkan oleh kaum kafir agar cahaya Islam redup. Semoga Allah menjaga Negara Saudi dari makar kaum kafir, munafik dan orang-orang sehaluan dengannya. Semoga makar mereka kembali kepada diri mereka sendiri.
[10] Seperti yang dilakukan oleh sebagian pembesar Ikhawan Al-Muslimin, HTI, dan lainnya
[11] Kalau politiknya politik syar’iy, kenapa tidak. Kalau menguasai suatu negeri dengan bimbingan wahyu, kenapa tidak? Cuma mereka ini menggambarkan bahwa Ahlus Sunnah sebenarnya haus kekuasaan, sehingga berusaha meraih kekuasaan dengan baju dakwah. Jelas ini sangkaan buruk dan miring!! Kalau sekedar menuduh, yah gampang saja. Bukankah NU juga menginginkan kekuasaan melalui partai-partainya? Alhamdulillah, Ahlus Sunnah yang mereka gelari “Wahabi” di Indonesia mereka tak masuk dalam partai apapun untuk membuktikan bahwa mereka bukanlah manusia haus kekuasaan.
[12] Kalau sekedar menuduh gampang saja!!
[13] Lihat Siyar Al-A’lam (15/86) oleh Adz-Dzahabiy dan Wafayat Al-A’yan (3/284) oleh Ibnu Khollikan.
[14] Tentang tercelanya ilmu kalam di sisi para imam, termasuk Al-Imam Asy-Syafi’iy, maka silakan baca kitabAsy-Syari’ah karya seorang ulama Syafi’iyyah bernama Al-Ajurriy, Ahadits Dzammil Kalam wa Ahlih oleh Abul Fadhl Al-Muqri, Dzammul Kalam oleh Al-Harowiy.
[15] Lihat At-Tuhfah Al-Mahdiyyah Syarh Ar-Risalah At-Tadmuriyyah (hal. 80) Di dalamnya terdapat bantahan atas Abul Hasan Al-Asy’ariy dan pengikutnya yang menetapkan sifat tujuh atau sifat 20.
[16] Lihat rincian hal ini dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah dan Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah beserta syarah keduanya.
Sumber : Pesantren-alihsan.org
Sumber Artikel :Abunamira.wordpress.com
Silakan menyebarkan risalah ini dalam
bentuk apa saja selama menyebutkan sumber, tidak merubah content dan makna serta
tidak untuk tujuan komersial
Print Article
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini