Related categories : Aqidah,Manhaj,Sejarah,Maulid Nabi,
Transcribed on: 10 Januari 2015
Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ta’ala
-
Dijadikannya hari maulid sebagai salah satu ‘ied (hari raya) kaum muslimin oleh pemerintah suatu negara.
Padahal Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersabda:
-
Perayaan ini merupakan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap ahli kitab.
-
Adanya jalan dan kesempatan yang bisa mengantarkan kepada terjadinya bentuk-bentuk perzinahan
Yakni perzinahan dalam artian yang lebih luas sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dalam sabda beliau: -
Adanya nyanyian-nyanyian, alat-alat musik, serta tarian-tarian.
-
Kurangnya penghormatan dan tadabbur kepada Al-Qur`an karena mereka menggabungkan -dalam acara maulid ini- antara Al-Qur`an dan nyanyian-nyanyian.
-
Hadir/berperan serta dan berinfak/mengeluarkan harta dalam perayaan maulid.
-
Boros dan mubazzir dalam hal makanan3.
-
Dzikir berjama’ah. Telah berlalu -pada bab keempat- kisah Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- yang mengingkari orang-orang yang berdzikir berjama’ah di zaman beliau. Ini menunjukkan bahwa dzikir secara berjama’ah sama sekali tidak pernah mereka lakukan bersama Nabi mereka -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-4
-
Mengkhususkan adanya taushiah (ceramah agama) dalam setiap perayaan.
“Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr (’Idul Adh-ha) dan hari Fithr (’Idul Fithri)”.
(HR. An-Nasa`i (3/179/5918) dari sahabat Anas bin Malik dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 4460)
Maka ini tegas menunjukkan bahwa selain dari dua ‘ied (hari raya) di atas adalah hari ‘ied jahiliyah (yang tidak ada dasarnya dalam tuntunan Islam).
Padahal kita telah
dilarang untuk menyerupai orang-orang kafir. Allah -Subhanahu wa Ta’ala-
berfirman:
“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah
shalat dan janganlah kalian termasuk orang-orang musyrikin”. (QS. Ar-Rum : 31)
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- juga bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka” (Telah berlalu
takhrijnya).
Telah berlalu pembahasan ini secara lengkap pada bab keenam.
“Telah dituliskan atas anak Adam bagiannya dari zina, dia pasti akan mendapatinya (melakukannya) tidak mungkin tidak: Maka kedua mata zinanya dengan melihat, kedua telinga zinanya dengan mendengar, lidah zinanya dengan berbicara, tangan zinanya dengan menyentuh, kaki zinanya dengan melangkah, hati berhasrat dan berangan-angan, dan hal itu akan dibenarkan atau didustakan oleh kemaluan”.
(HR. Al-Bukhary no. 5889, 6238 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- dan ini adalah lafadz Muslim)
Di antara bentuknya adalah:
- Terfitnahnya para lelaki dengan amrod (Anak lelaki yang gagah dan belum balig yang belum tumbuh jenggotnya). Ini merupakan jalan yang bisa mengantarkan kepada perbuatan sodomi (homoseks), wal’iyadzu billah. 1
- Terfitnahnya (tertariknya) lelaki -baik yang telah baligh maupun yang belum- kepada wanita -baik yang telah balig maupun yang belum- dan demikian pula sebaliknya.
Padahal Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah memperingatkan hal ini dalam sabda beliau:
“Saya tidaklah meninggalkan setelahku suatu fitnah (ujian) di tengah manusia yang lebih berbahaya bagi para lelaki dibandingkan para wanita”.
(HR. Al-Bukhary no. 4808 dan Muslim no. 2740, 2741 dari Usamah bin Zaid -radhiyallahu ‘anhu-)
Dan beliau juga telah bersabda:
“Maka takutlah kalian dari (fitnah) dunia dan takutlah kalian dari (fitnah) wanita”. (HR. Muslim no. 2742 dari Abu Sa’id Al-Khudry -radhiyallahu ‘anhu-)
- Percampurbauran antara lelaki dan wanita.
Ini bertentangan dengan
perintah Allah dalam Al-Qur`an yang mensyari’atkan adanya hijab antara lelaki
dan wanita.
Allah -‘Azza wa Jalla- berfirman:
“Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (para wanita), maka mintalah dari belakang tabir, cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”. (QS. Al-Ahzab : 53)
Rasul-Nya juga telah bersabda:
“Hati-hati kalian dari masuk kepada para wanita”. Maka ada seorang lelaki dari Anshor yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ipar?”, beliau menjawab, ["Ipar adalah kematian”].
(HR. Al-Bukhary no. 4934 dan Muslim no. 2172 dari ‘Uqbah bin ‘Amir -radhiyallahu ‘anhu-)
- Kaum pria memandang kepada aurat wanita yang bukan mahramnya dan demikian pula sebaliknya.
Padahal Allah -‘Azza wa Jalla- telah memerintahkan sebaliknya yaitu menundukkan pandangan dari lawan jenis yang bukan mahram. Perintah ini Allah arahkan kepada lelaki dalam firman-Nya:
“Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, hendaklah mereka menahan (menundukkan) pandangan-pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka”.
(QS. An-Nur : 30)
Juga kepada wanita:
“Katakanlah kepada para wanita beriman, hendaklah mereka menahan (menundukkan) pandangan-pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka”.
(QS. An-Nur : 31)
- Laki-laki menyentuh wanita yang bukan mahramnya dan sebaliknya.
Telah nyata adanya ancaman bagi lelaki dan wanita yang melanggar hal ini. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda:
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”.
(HR. Ar-Ruyany dalam
Musnadnya no. 1282, Ath-Thobarony (20/no. 486-487), dan Al-Baihaqy dalam
Syu’abul Iman no. 4544 dari Ma’qil bin Yasar -radhiyallahu ‘anhu- dan
dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 226)
Hadits ini menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram atau
disentuh oleh wanita atau lelaki yang bukan mahram adalah termasuk dosa besar.
- Keluarnya para wanita dari rumah mereka -tanpa ada hajat dan keperluan- dalam keadaan berhias, memakai wewangian, dan menampakkan perhiasannya.
Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah berfirman, memerintahkan kepada para wanita:
“Dan hendaklah kalian (wahai para wanita) tetap (tinggal) di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dengan model berhias orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab : 33)
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersabda:
“Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka akan dibuat anggun oleh syaithan”. (HR. At-Tirmidzy no. 1173 dari ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 273)
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- juga telah bersabda:
“Jika seorang wanita memakai wewangian lalu dia melewati suatu kaum agar mereka (kaum tersebut) mencium wangi dirinya maka dia adalah begini dan begitu, -beliau mengucapkan perkataan yang keras-”
(HR. Abu Daud no. 4173, At-Tirmidzy no. 2786, dan An-Nasa`i (2/283) dari Abu Musa Al-Asy’ary dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 323).
Dan dalam riwayat At-Tirmidzy: “Yakni dia adalah pezina”.
Semua hal ini adalah perkara yang diharamkan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dengan firman-Nya:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna yang karenanya dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”.
(QS. Luqman : 6)
Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata menafsirkan makna ["perkataan yang tidak berguna"]:
“Dia -demi Allah- adalah nyanyian”.
(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no. 21130, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 3542 dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubro (10/223))
Dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no. 21137 dan Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (10/221, 223) meriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- bahwa beliau berkata mengomentari ayat di atas:
“Ayat (dalam surah Luqman) ini turun berkenaan dengan nyanyian dan yang semisalnya”.
Maka ini adalah penafsiran dari dua pembesar sahabat dalam masalah tafsir Al-Qur`an yang keduanya menyatakan bahwa ayat tersebut turun untuk mengharamkan nyanyian, musik, dan yang semisalnya.
Dan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- juga telah mengabarkan bahwa di antara tanda-tanda Hari kiamat adalah dengan tersebarnya nyanyian dan alat musik. Beliau bersabda:
“Akan datang dari ummatku sekelompok kaum yang akan menghalalkan perzinahan, kain sutera (bagi lelaki), khamer, dan alat-alat musik”.
(HR. Al-Bukhary no. 5268 dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ary -radhiyallahu ‘anhu-) 2
Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh berkata,
“Hadits ini jelas menunjukkan keharamannya, karena penghalalan tidak mungkin dilakukan kecuali pada perkara yang diharamkan. Dan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah benar, sungguh sekelompok manusia dari kalangan umat Muhammad sudah ada yang menggunakan alat-alat musik dan lagu-lagu dengan meremehkan dan tidak memperdulikan (larangan syari’at)”
(Lihat Al-Minzhor fii Bayani Katsirin minal Akhtho`i Asy-Sya`i’ah hal. 53)
Dan Imam Ibnul Qoyyim berkata menerangkan makna hadits di atas dalam Ighotsatul Luhfan (1/291),
“Dan sisi pendalilan dari hadits ini adalah bahwa sesungguhnya alat-alat musik, semuanya adalah alat-alat yang melalaikan, tidak ada perbedaan pendapat di antara pakar bahasa dalam perkara ini. Dan seandainya hal itu (alat-alat musik, pen.) halal, maka pasti Nabi tidak akan mencerca mereka (kaum yang tersebut dalam hadits, pen.) karena penghalalan mereka atasnya (alat-alat musik, pen.) dan pasti tidak akan digandengkan penghalalannya dengan penghalalan minuman keras“.
Ini menunjukkan kurangnya ketaqwaan di dalam hati. Memadukan antara Al-Qur’an dan nyanyian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at dan merupakan perbuatan tidak mengagungkan syi’ar Allah, karena Al-Qur`an adalah syi’ar Allah yang terbesar di muka bumi ini.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (QS. Al-Hajj : 32)
Bahkan Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”. (QS. Muhammad : 24)
Ini adalah bentuk dukungan terhadap kerusakan dan kesesatan sebagaimana yang akan datang berupa fatwa para ulama tentang hal ini.
Ini menyerupai sifat setan yang memerintahkan mereka untuk melakukan bid’ah maulid ini:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”. (QS. Al-Isra` : 26-27)
Perbuatan ini juga termasuk perkara yang dibenci oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- bila ada pada seorang hamba. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- mengabarkan:
“Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian 3 (perkara): Qila wa qol (katanya dan katanya), membuang-buang harta dan terlalu banyak bertanya [Yakni pada perkara-perkara yang sudah sangat jelas]”. (HR. Al-Bukhary no. 1407, 2277, 5630, 6108, 6862 dan Muslim no. 593 dari Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiyallahu ‘anhu-)
Ini juga merupakan suatu bid’ah. Karena taushiah adalah perkara yang dituntut kapan dan dimana saja. Syari’at memerintahkannya dalam bentuk umum tanpa mengikatnya atau membatasinya dengan waktu dan tempat tertentu. Maka mengkhususkan atau mengikat adanya taushiah khusus dalam perayaan maulid, tanpa ada dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bid’ah (Lihat Ahkamul Jana`iz hal. 306 karya Syaikh Nashiruddin Al-Albany -rahimahullah-).
{Lihat : Ar-Roddu ‘ala
Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid bab keenam dan ketujuh, Hukmul Ihtifal bi
Dzikrol Maulid An-Nabawy, Hukmul Ihtifal bil Maulid warroddu ‘ala Man Ajazahu
dan Al-Maurid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid bab ketiga}
Diambil dari : Buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam karya al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah, cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007;
dari kautsarku dari abdullah al-aussie
Catatan Kaki
[1]Bagaimana seorang tidak tertarik dengan anak-anak kecil atau ABG yang sengaja dihias untuk tampil bernyanyi dan bersya`ir di depan khalayak ramai?!. Ini merupakan sebab terbesar timbulnya perbuatan sodomi oleh orang yang memiliki penyakit hati. Cukuplah peristiwa yang terjadi di zaman Nabi Luth -‘alaihis salam- sebagai ibrah dan pelajaran. Belum lagi, tampilnya wanita pilihan yang muda lagi cantik bersolek dengan busana yang indah untuk menghibur para hadirin, nas’alullahal ‘afiyah was salamah minal fitan.(ed) Back to top
[2]Sebagian orang ada yang berusaha melemahkan hadits ini dengan beberapa alasan yang sangat lemah. Lihat alasan-alasan tersebut beserta bantahannya dalam Fathul Bary (1/52), Ighotsatul Luhfan (1/290-291), dan Tahrim Alatut Thorb hal. 81-82 [Back to top]
[3]Bentuk pemborosan ini sangat jelas terjadi ketika hari peringatan maulid. Orang-orang yang hadir, baik tua maupun muda, semuanya berebutan makanan sehingga terkadang rebutan yang berbentuk “tawuran” tersebut membuat sebagian makanan terhambur dan jatuh di tanah, sedang mereka tidak memungutnya. Di lain tempat, sebagian orang seusai acara inti berupa ceramah, bukannya berebutan makanan, akan tetapi saling melempar makanan antara satu hadirin dengan yang lainnya. Di sudut kota lain, ada yang melemparkan semacam tumpeng atau nasi tujuh warna ke lautan atau ke sungai, ibaratnya seperti orang-orang musyrikin dan penganut animisme. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang berbuat boros dan memerintahkan kita agar tidak membuang makanan yang jatuh, akan tetapi makanan yang jatuh hendaknya dibersihkan lalu dimakan. Inilah sebagian di antara bentuk pemborosan mereka. (ed) [Back to top]
[4]Untuk lebih puasnya, silakan anda baca kitab Adz- Dzikr Al-Jama’iy karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis -hafizhohullah-. Kesimpulannya, dzikir jama’ah adalah bid’ah dholalah (sesat), bagaimanapun mereka berusaha keras untuk ‘mencari-cari’ dalil, sebab pengingkaran sahabat Abdullah bin Mas’ud yang diisyaratkan oleh penulis (Syaikh Muhammad) sudah cukup menjadi “kata pemutus” dalam permasalahan ini. Beliau adalah sahabat yang telah menyaksikan kehidupan di zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan telah menyatakan bahwa dzikir jama’iy ini adalah bid’ah. Maka alangkah mengherankannya jika ada orang yang hidup di zaman belakangan yang menyatakan bahwa dzikir jama’iy ini ada di zaman kenabian, padahal Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- telah mengingkarinya !!? (ed) [Back To Top]
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction Duta Asri Palem 3
| |
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini