Dahulu, memang yang kami rasakan adalah sulit menerima pendapat yang lain. Pendapat yang kami dengar pertama kali atau pendapat dari guru kami, itulah yang kami pegang erat-erat. Berlalunya waktu dan ada kemampuan untuk menelaah pendapat yang lain, pendapat guru kami pun, kami selisihi. Bukan karena apa-apa, cuma lantaran ada dalil saja yang kami anggap lebih kuat.
Misal saja, guru kami lebih cenderung pada pendapat duduk di tahiyat akhir pada shalat dua raka’at adalah duduk iftirosy, yaitu kaki kiri diduduki dan kaki kanan ditegakkan. Bahkan dahulu inilah yang jadi pendapat anak-anak ngaji. Pokoknya kalau tidak dengan cara ini, keahlus-sunnahannya dipertanyakan. Ada yang sampai berujar, “Ahlus Sunnah kok shalatnya seperti itu?” Setelah memahami dalil dan banyak menelaah, ternyata kami pun lebih cenderung pada pendapat yang kami anut sejak kecil yaitu pendapat Syafi’iyah bahwa duduk pada tasyahud akhir adalah duduk tawarruk berapa pun jumlah raka’atnya. Banyak belajar, banyak menelaah, membuat kami sadar bahwa perbedaan dalam hal fikih seperti itu ada. Dan sah-sah saja menyelisihi guru kami karena memandang dalil. Semakin tahu perbedaan dalam hal ijtihadiyah, membuat kami pun semakin lapang dada.
Menyelisihi hal yang sudah mendarah daging atau yang sudah jadi mainstream -istilah anak muda saat ini-, amatlah berat. Pihak yang memegang pendapat mainstream ada yang sampai menyalahkan bahkan yang lebih gawat sampai mengeluarkan saudaranya dari Ahlus Sunnah.
Buktinya saja yang kami alami saat ini. Saat membolehkan mencoblos dalam Pemilu karena menimbang adanya maslahat dan untuk menghilangkan bahaya yang lebih besar dengan mengambil yang lebih ringan, ketika pendapat ini yang dipilih, berbagai hujatan pun datang. Sampai dicap jelek dengan mental tempe, pro demokrasi, juga dipertanyakan keilmuannya di mana. Tetap sabar, mungkin karena mereka belum paham. Padahal para ulama zaman kita ini ketika disodorkan pertanyaan, apakah harus mencoblos atau tidak dalam Pemilu, mayoritas mereka menjawab, tetap mencoblos. Alasannya? Yah untuk mengurangi kemudaratan, daripada yang jelek yang berkuasa. Silakan tilik dan banyak olah bacaan, pasti akan menemukan seperti yang kami utarakan.
Kalau memang tidak setuju dengan pendapat pro coblos, cobalah ditanggap dengan cara yang santun. Bila cara shalat kita saat tasyahud berbeda tidak mengeluarkan dari Ahlus Sunnah, maka seharusnya kita memperlakukan yang sama untuk hal mencoblos. Tak perlulah perbedaan ijtihadiyah yang ada membuat kita saling menjauh dan saling menyesatkan. Marilah berdamai dan bersatu.
Coba perhatikan nasehat yang bagus dari Ibnu Taimiyah berikut ini,
وَأَمَّا الِاخْتِلَافُ فِي ” الْأَحْكَامِ ” فَأَكْثَرُ مِنْ أَنْ يَنْضَبِطَ وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ وَلَقَدْ كَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا سَيِّدَا الْمُسْلِمِينَ يَتَنَازَعَانِ فِي أَشْيَاءَ لَا يَقْصِدَانِ إلَّا الْخَيْرَ
“Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka jumlahnya tak berbilang. Seandainya setiap dua orang muslim yang berselisih pendapat dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu saja -dua orang yang paling mulia setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berdua berbeda pendapat dalam beberapa masalah, tetapi yang diharap hanyalah kebaikan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173)
Kembali Ibnu Taimiyah melanjutkan,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada para sahabatnya,
لَا يُصَلِّيَن أَحَدٌ الْعَصْرَ إلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
“Janganlah seorang pun shalat melainkan jika sudah sampai di Bani Quraizhah.”
Di antara mereka ada yang sudah mendapati waktu Ashar di jalan, namun mereka berkata, “Janganlah shalat kecuali sudah mencapai Bani Quraizhah.” Hingga akhirnya mereka pun luput (telat) melakukan shalat ‘Ashar. Sedangkan lainnya berkata, “Kita tidak boleh mengakhirkan shalat ‘Ashar.” Akhirnya mereka pun melaksanakan shalat ‘Ashar di jalan (pada waktunya). Namun tidak ada seorang pun di antara dua kelompok yang berbeda tersebut saling mencela. Hadits ini disebutkan dalam shahihain dari hadits Ibnu ‘Umar.
Hal di atas berkaitan dengan masalah hukum (fikih). Oleh karenanya, jika ada masalah selama bukan suatu yang krusial dalam hal ushul (pokok agama), maka diserupakan seperti itu pula. (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173-174)
Juga coba renungkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata padanya,
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).
Setelah membawakan perkataan Imam Asy Syafi’i di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Hal ini menunjukkan kecerdasan dan kepahaman Imam Syafi’i walau mereka -para ulama- terus ada beda pendapat.” (Idem, 10: 17).
Tugas kita saling menasehati. Jika ada yang melampaui batas dalam memutuskan untuk coblos dengan berkampanye hitam, tolong diingatkan. Atau waktunya habis hanya karena membela satu capres, tolong dinasehati. Kami pun tetap hargai yang memilih golput. Peace!
Kita berbeda, namun bukan berarti kita mesti bermusuhan.
Semoga Allah terus menjaga ukhuwah kita.
Disusun di pagi penuh berkah di Gunungkidul, 4 Sya’ban 1435 H
Sumber Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Publisher of the article by :Muslim.Or.Id
Rewritten by : Rachmat Machmud end Republished by : Redaction
Print Article
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini