Kategori :Bahasan Utama
Yang terbaik bagi seorang
muslim dalam perkara yang menyangkut urusan orang banyak dan demi maslahat
persatuan adalah menyerahkan urusan tersebut pada pemerintah kaum muslimin. Jika
seandainya suara kaum muslimin itu satu dalam berhari raya dan memulai puasa,
itu lebih baik. Namun demikianlah sebagian ormas dan golongan tertentu
mementingkan egonya masing-masing. “Pokoknya besok kami puasa“, ujar mereka.
Padahal yang sesuai sunnah Rasul, hari raya dan puasa diumumkan oleh penguasa,
bukan individu atau ormas. Kita pun diperintahkan berpuasa dan berhari raya
dengan pemerintah kita.
Perhatikan Sunnah Rasul
Seorang muslim tentu saja
harus patuh pada dalil. Ketika disampaikan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah,
ia harus bersikap tunduk dan manut pada dalil. Bukan egonya yang dikedepankan,
bukan hawa nafsunya, bukan kepentingan ormas atau partainya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا آَتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al
Hasyr: 7).
الَّذِينَ
يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ
اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal” (QS. Az Zumar: 18). Kita sepakati bersama bahwa Al Qur’an dan As
Sunnah adalah sebaik-baik perkataan dibanding perkataan individu atau ormas.
Dalam hadits Al ‘Irbadh
bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati
para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah
dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam
ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.”
(HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani menyatakan hadits
ini shahih)
Salah seorang khulafa’ur
rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu
Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَسْتُ تَارِكًا
شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ
إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ
أَزِيْغَ
“Aku tidaklah biarkan
satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku
mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan
menyimpang.” (HR. Bukhari no. 3093 dan Muslim no. 1759)
Imam Ahmad berkata,
مَنْ رَدَّ
حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا
هَلَكَةٍ
“Barangsiapa yang menolak
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada
dalam jurang kebinasaan.” (Ibnul Jauzi dalam Manaqib, hal. 182. Dinukil dari
Shifat Shalat Nabi hal. 53).
Sunnah
Rasul: Pemerintah yang Berhak Putuskan 1 Ramadhan dan 1 Syawal
Inilah ajaran Rasul yang
sebagian ormas tidak lagi peduli. Sebagian mereka tidak sabar dengan segera
memutuskan kapan 1 Ramadhan dan kapan 1 Syawal melangkahi pemerintah mereka.
Kami katakan, ini menyelisihi sunnah Rasul berdasarkan hadits-hadits berikut ini.
وَعَنِ اِبْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ,
فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ,
وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku
mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah
melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk
berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2342. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata bahwa
hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).
وَعَنِ اِبْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ –
صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ”
أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي
اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا”
Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam- bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang
berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah?“, Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kembali
bertanya. Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun
memerintah, “Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.” (HR.
Tirmidzi no. 691 dan Ibnu Majah no. 1652. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom
berkata bahwa Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menshahihkannya, namun An Nasai
lebih cenderung pada pendapat bahwa riwayat tersebut mursal).
Dua hadits di atas
menunjukkan bahwa keputusan berpuasa dan berhari raya menjadi wewenang
pemerintah, bukan ormas, individu atau partai.
Maslahat Jika Kaum Muslimin Bersatu
Seandainya kaum muslimin
menimbang-nimbang persatuan, dibanding berselisih, tentu tidak ada yang angkat
bicara mengenai keputusan berpuasa atau berhari raya sebelum pemerintah mereka.
Di negara kita saja yang terlihat berbeda karena setiap orang boleh angkat suara.
Berbeda dengan Malaysia dan Kerajaan Saudi Arabia yang hanya seorang muftilah
yang boleh angkat bicara kapankah kita mulai berpuasa atau berhari raya.
Seandainya kaum muslimin
mau bersatu daripada mementingkan ego dan golongan masing-masing, tentu maslahat
begitu besar.
Lihat atsar salaf berikut
yang menunjukkan bagaimana mereka lebih mementingkan persatuan daripada berpecah
belah.
عبد الله بن عمر
– رضي الله عنهما- يصلي خلف الحجاج بن يوسف الثقفي، المعروف بظلمه، وتعسفه، وغلظته،
وعبد الله بن عمر رضي الله عنه، يعتبر من أشد الصحابة تمسكاً بسنة النبي صلى الله
عليه وسلم، والاقتداء به، وعندما عوتب في ذلك قال: أمرنا أن نصلي خلف كل بر وفاجر،
وأن نقاتل مع كل بر وفاجر
‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat di belakang Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqofi
yang terkenal bengis dan kejam. Kita pun tahu bagaimana ‘Abdullah bin ‘Umar
dikenal sebagai sahabat yang paling berpegang teguh dengan ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Kami diperintahkan shalat
di belakang imam yang baik dan yang fasik (gemar maksiat). Begitu pula kami
diperintahkan untuk berjihad bersama mereka, terserah mereka pemimpin yang baik
atau pemimpin yang fasik.” Maksud kalimat tersebut adalah selama kaum muslimin
bersatu di bawah pemimpin yang sah walau fasik atau fajir, maka tetap ditaati.
Selama pemimpin tidak memerintahkan pada maksiat, maka wajib ditaati.
Sebagian orang sering
mencela pemimpin mereka bahkan di depan umum. Lihat saja sikap para ulama.
Mereka sangat ingin pemimpin mereka baik. Perhatikan perkataan Imam Ahmad
berikut ini,
قال أحمد بن
حنبل رحمه الله تعالى: لو أعلم أن لي دعوة مستجابة، لجعلتها لولي الأمر، لأن صلاح
ولي الأمر صلاح للأمة جميعاً
Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah berkata, “Seandainya aku mengetahui ada satu doaku yang mustajab.
Maka aku akan menujukkannya kepada waliyyul amri (penguasa). Karena baiknya
pemimpin akan baik pula umatnya.”
Pemerintah Kita Menjalankan Sunnah Rasul
Ada yang berujar,
pemerintah kita tidak menjalankan sunnah Rasul. Apa benar? Wong, mereka saja
menggunakan metode ru’yatul hilal sebagaimana yang Rasul ajarkan. Itu yang jadi
rujukan mereka tahun demi tahun sebagaimana sidang itsbat yang diadakan setiap
tahunnya dan bisa disaksikan oleh kaum muslimin di layar televisi atau pun
radio. Kenapa sebagian muslim masih tidak percaya, pada pemerintahnya sendiri?
Metode ru’yatul hilal
itulah yang diajarkan oleh Rasul, bukan dengan metode hisab. Perhatikan hadits
Ibnu ‘Umar berikut,
وَعَنِ اِبْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا [ قَالَ ]: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – يَقُولُ: إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika
kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka
genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari
no. 1906 dan Muslim no. 1080).
Metode hisab hanyalah
sebagai perkiraan, sangat tidak tepat dijadikan rujukan utama sebagaimana yang
dianut sebagian ormas. Kami katakan, itu jelas-jelas menyelisihi sunnah Rasul
sebagaimana dikatakan pula oleh ulama masa silam. Rasul sendiri yang katakan,
beliau tidak mengenal hisab,
إِنَّا أُمَّةٌ
أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah
umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula
mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan
seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari no. 1913 dan
Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar).
Ibnu Hajar Asy Syafi’i
rahimahullah menerangkan, “Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap.
Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan
ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan
ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu
dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat
hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang
dibicarakan dalam hadits akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak
dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam
hadits,
فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga
kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban
menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan,
“Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah
supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.
Sebagian kelompok memang
ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab
yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang sependapat dengan mereka.
Namun Al Baaji mengatakan,
إجماع السلف على
عدم الاعتداد بالحساب ، وأن إجماعهم حجة على من بعدهم
“Cukup kesepakatan (ijma’)
ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan
untuk meruntuhkan pendapat mereka.”
Ibnu Bazizah pun
mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil.
Sungguh syariat Islam telah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum.
Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (zhon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i)
bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab,
sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali
sedikit” (Lihat Fathul Bari, 4: 127).
Silakan datangkan dalil
bagi yang mengatakan bahwa pemerintah kita itu keliru dalam penentuan awal dan
akhir Ramadhan …
قُلْ هَاتُوا
بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Datangkan dalilmu jika
engkau benar” (QS. Al Baqarah: 111).
Puasa
dan Hari Raya dengan Pemerintah
Ada perintah dari Rasul
untuk berpuasa dan berhari raya dengan pemerintah. Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ
تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan
tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala
mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian
beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani).
Imam Tirmidzi ketika
menyebutkan hadits ini berkata,
وَفَسَّرَ بَعْضُ
أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ
وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ
“Para ulama menafsirkan
bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya bersama al
jama’ah dan mayoritas manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi adalah
berpuasa dengan pemerintah (ulil amri), bukan dengan ormas atau golongan
tertentu.
Disebutkan dalam Hasyiyah
As Sindi ‘ala Ibnu Majah,
أَنَّ مَعْنَاهُ
أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ
التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب
عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا
رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي
حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة
“Hadits ini bermakna
bahwa perkara penetapan puasa (atau hari raya) bukan urusan individu atau
perorangan namun urusan penguasa dan al jama’ah (pemerintah). Wajib bagi setiap
orang untuk mengikuti pemerintah mereka. Oleh karenanya jika ada yang melihat
hilal lantas pemerintah menolak persaksiannya, maka tidak bisa pendapatnya
dipakai dan wajib baginya mengikuti pemerintah kaum muslimin.”
Kalau ada yang mengatakan,
bagaimana jika pemerintah itu salah? Cukup dijawab dengan hadits Abu Hurairah
berikut, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُصَلُّونَ
لَكُمْ ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ ، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Jika shalat para imam
itu benar, maka pahalanya bagi mereka dan untuk kalian. Jika shalat mereka salah,
kalian dapat pahala dan mereka dapat dosa.” (HR. Bukhari no. 694).
Taat pada pemerintah kita
kata Nabi adalah jalan menuju surga. dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al Bahili
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkhutbah saat haji wada’ dan mengucapkan,
اتَّقُوا اللَّهَ
رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ
أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ
“Bertakwalah pada Allah
Rabb kalian, laksanakanlah shalat limat waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan,
tunaikanlah zakat dari harta kalian, taatilah penguasa yang mengatur urusan
kalian, maka kalian akan memasuki surga Rabb kalian.” (HR. Tirmidzi no. 616 dan
Ahmad 5: 262. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih,
Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).
Bersabarlah menanti
keputusan pemerintah kita. Hanya Allah yang beri taufik.
Disalin Sumber Artikel Blog Muslim.Or.Id ; dipublikasi
ulang oleh
Mushola Nurul Iman
Silakan menyebarkan risalah ini dalam
bentuk apa saja selama menyebutkan sumber, tidak merubah content dan makna serta
tidak untuk tujuan komersial
|
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini