Ibadah dibangun di atas dalil, sebagaimana telah dijelaskan dalam fatwa no. 127965 dan no. 26489. Doa termasuk ibadah yang paling mulia, bahkan doa adalah ibadah itu sendiri, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban,
dan Ahmad. Hadist ini dinyatakan hasan shahih oleh Tirmidzi dan dishahihkan
oleh al-Albani)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan
dalam Majmu’ Fatawa, “Doa yang hukumnya mustahab (dianjurkan)
adalah doa yang disyariatkan, karena hukum mustahab hanya dikeluarkan
oleh pembuat syariat. Maka sesuatu yang tidak disyariatkannya, berarti tidak
mustahab, bahkan termasuk mensyariatkan sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah
dalam agama, karena doa termasuk ajaran agama yang paling mulia”.
Seorang muslim diperbolehkan untuk memilih doa yang dia kagumi,
walaupun lafadz doa tersebut tidak ada dalam sunnah. Hal tersebut berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ليتخير أحدكم من الدعاء أعجبه
إليه فليدع الله عز وجل
“Hendaklah seseorang diantara kalian memilih doa yang dia
kagumi, lalu dia berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Bukhari dan
an-Nasai. Lafadz tersebut adalah milik an-Nasai)
Apabila ditinjau dari segi ini, yaitu doa yang mutlak, maka tidak
boleh mengaitkannya dengan waktu, keadaan, tempat, atau bilangan tertentu; dan
menjadikannya sebagai sunnah rawatib, kecuali jika ada dalil syar’i yang
mendasarinya.
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata dalam
kitabnya Tash-hiihud Du’aa, dimana maksud beliau menulis kitab
tersebut adalah untuk meluruskan dzikir dan doa yang dilakukan seorang hamba,
ketika menjelaskan kaedah “Perbedaan antara Doa-doa dan Dzikir-dzikir yang
Dikaitkan dengan Keadaan, Waktu ,atau Tempat Tertentu; dan antara Doa-doa dan
Dzikir-dzikir yang Mutlak”, beliau rahimahullah mengatakan
:
Jika doa dan dzikir tersebut tidak terdapat dalam Al-Quran atau
Sunnah, akan tetapi dia membuat lafadz sendiri atau dia menukilnya dari salaf;
maka hal tersebut termasuk doa dan dzikir yang mutlak, dan hukumnya boleh jika
terpenuhi lima syarat berikut :
- Memilih lafadz yang paling baik maknanya, dan paling jelas, karena doa merupakan munajat seorang hamba kepada Rabb dan sesembahannya.
- Lafadz doa dan dzikir tersebut harus sesuai dengan makna arab, dan tuntutan ilmu i’rab
- Harus bebas dari larangan syariat, baik secara lafadz maupun maknanya
- Harus termasuk dalam dzikir dan doa yang mutlak, tidak terkait dengan waktu, atau keadaan, atau tempat tertentu
- Tidak menjadikannya kebiasaan yang senantiasa dilakukan (selesai nukilan ucapan beliau)
Kaedah kedua yang disebutkan oleh beliau rahimahullah (dalam kitab Tash-hiihud Du’aa -pent) adalah “Kaedah Mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah) dalam Berdoa”. Diantara perkataan beliau setelahnya: “Semua itu terletak dalam cakupan kaedah peribadahan yang mulia, yaitu : Sesungguhnya hukum asal dalam berdoa dan berdzikir adalah haram, kecuali apa-apa yang ditunjukkan kebolehannya oleh dalil.”
Hal tersebut juga sering diistilahkan oleh para Imam dengan perkataan mereka, “Ibadah berhenti di atas nash, dan keberadaan nash tersebut dalam keenam arah peribadatan” yaitu dalam sebab, jenis, ukuran, tata cara, waktu, dan tempat. Jika hilang salah satu dari keenam arah ini, maka dalam doa tersebut ada kesalahan, dan sikap berlebih-lebihan. (selesai nukilan ucapan beliau)
Diantara kaedah yang perlu dijelaskan (karena berkaitan dengan pertanyaan) adalah kaedah ke enam (dalam kitab Tash-hiihud Du’aa -pent), yaitu : setiap perkara yang dibuat-buat dalam ibadah (diantaranya adalah doa dan dzikir) dan menganggapnya sebagai amalan sunnah, maka dia telah berdosa dari 4 sisi :
- Meninggalkan hal yang disyariatkan
- Lancang terhadap syariat
- Menganggap sunnah hal yang tidak disyariatkan
- Membuat orang umum menyangka bahwa hal tersebut merupakan perkara yang disyariatkan
Hendaklah seorang hamba yang taat waspada dari membuat hal-hal baru yang tidak disyariatkan. Dalam hal yang disyariatkan terdapat seluruh kebaikan, dan kecukupan. Dan apa yang telah Allah pilihakan untuk hamba-Nya lebih baik dari pilihan hamba untuk dirinya sendiri.
Kaedah ke tujuh (dalam kitab Tash-hiihud Du’aa -pent), yaitu jika ada tuntutan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan sesuatu ibadah, dan tidak ada penghalang bagi beliau untuk melakukannya; tapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyariatkannya, baik secara perkataan maupun perbuatan; maka termasuk sunnah adalah meninggalkannya sebagai bentuk mutaba’ah (peneladanan) kita kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Fathul Baari).
Saya menasehatkan kepada penanya untuk membaca kitab tersebut (yaitu Tash-hiihud Du’aa -pent). Di dalamnya terdapat banyak faedah. Dan telah berlalu peringatan bahwasanya pengaitan ibadah, diantaranya adalah doa dan dzikir, dengan jumlah, atau keadaan tertentu, atau hari tertentu, dan menganggapnya sebagai sunnah; merupakan bid’ah yang sesat. Silahkan merujuk ke fatwa no. 127441 ، 125936 ، 94673 ،37515 ، 75029 ، 17613
Adapun menganggap hal tersebut sebagai bid’ah hasanah, maka itu tidak benar. Telah berlalu penjelasan makna sunnah hasanah, dan perbedaannya dengan bid’ah; dan penjelasan bahwasanya tidak ada istilah dalam syariat “bid’ah hasanah” dalam fatwa no. 110457، 29016، 55499.
Wallahu a’lam.
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id - Penterjemah : Abu Kaab Prasetyo
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini