Beberapa kewajiban istri yang harus dipenuhi kepada
suaminya antara lain adalah :
Patuh kepada perintah suami
Hushain bin Mihshan mengkisahkan : Bahwasannya bibinya
pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasalam untuk satu keperluan.
Setelah menyelesaikan keperluannya, maka Nabi berkata kepadanya :
‘Apakah engkau
bersuami ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau melanjutkan : ‘Bagaimana sikapmu
terhadapnya ?’. Aku menjawab : ‘Aku tidak pernah membantahnya/menolaknya kecuali
pada perkara yang tidak sanggup aku lakukan’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
فَانْظُرِيْ
أَيْنَ
أَنْتِ
مِنْهُ
فَإِنَّمَا
هُوَ
جَنَّتُكِ
وَنَارُكِ
"Maka perhatikanlah sikapmu terhadapnya, karena
sesungguhnya dia (suamimu) adalah surga dan nerakamu" [HR. Ahmad 4/341;
An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 8963, 8964, 8967, 8968, 8969; Ath-Thabarani dalam
Al-Kabiir 25/448, 449, 450 dan Al-Ausath no. 532; Al-Hakim 2/189; Al-Baihaqi
dalam Syu’abul-Iman no. 8729-8731; dan no. 19025. Hadits ini hasan – dari
takhrij hadits Al-Arna’uth terhadap Musnad Imam Ahmad 31/341 no. 19003].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya
tentang model wanita yang paling baik, maka beliau menjawab :
الَّتِيْ
تُطِيْعُ
إِذَا
أَمَرَ
وَتَسُرُّ
إِذَا
نَظَرَ
وَتَحْفَظُهُ
فِيْ
نَفْسِهَا
وَمَالِهِ
“Dia dalah seorang wanita yang patuh saat suaminya
menyuruhnya, menarik saat suaminya memandangnya, menjaga kemuliaan suami dengan
memelihara kehormatannya sendiri, dan mengurus harta suami” [HR. An-Nasa’i dalam
Al-Kubraa no. 8961; shahih].
Catatan : Taat ini dengan syarat : Hanya dalam hal yang
ma’ruf bukan dalam kemaksiatan.
لا
طَاعَةَ
فِيْ
مَعْصِيَّةِ
اللهِ
إِنَّمَا
الطَّاعَةُ
فِي
الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perbuatan maksiat kepada Allah.
Ketaatan hanya boleh dilakukan dalam kebaikan” [HR. Bukhari no. 4340,7257;
Muslim no. 1840; Abu Dawud no. 2625; dan lain-lain.]
Maka, seorang istri tidak boleh taat kepada suaminya jika
ia menyuruh untuk membuka jilbab, menemani seorang laki-laki yang bukan mahram
tanpa ada suaminya, berbohong, dan lain-lain. Namun bukan pula berarti ia
membatalkan ketaatannya secara keseluruhan. Ia tetap wajib taat pada hal-hal
yang mubah dan yang disyari’atkan.
Tetap tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali
setelah mendapat ijin dari suami.
Allah berfirman :
وَقَرْنَ
فِي
بُيُوتِكُنّ
وَلاَ
تَبَرّجْنَ
تَبَرّجَ
الْجَاهِلِيّةِ
الاُولَىَ
“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah
dahulu” [QS. Al-Ahzab : 33].
Tinggal di dalam rumah adalah hukum asal bagi seorang
wanita. Ia tidak boleh keluar melainkan dengan sebab dan syarat. Sebabnya adalah
karena hajat, dan syaratnya adalah ijin dari suami, berpakaian syar’i, tidak
memakai wangi-wangian, dan yang lainnya (yang akan dijelaskan kemudian).
Untuk hal-hal yang sifatnya rutinitas dimana ia telah
mendapatkan ijin dari suami secara umum, maka ia boleh keluar tanpa seijin
suaminya (walau meminta ijin tetap lebih baik). Misalnya : keluar rumah untuk
belanja di warung, menyapu halaman, dan lainnya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan
salah satu sebab mengapa wanita tinggal di dalam rumah :
الْمَرْأَةُ
عَوْرَةٌ
فَإِذَا
خَرَجَتِ
اسْتَشْرَفَهَا
الشَّيْطَانُ
“Wanita itu adalah aurat. Apabila ia keluar rumah, maka
akan dibanggakan oleh syaithan” [HR. At-Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah no.
1685-1687, Ibnu Hibban no. 5598-5599, Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir no. 10115,
dan Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 3/1259; shahih].
Hingga dalam permasalahan ibadah (shalat di masjid), rumah
tetap lebih baik bagi seorang wanita sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam :
لا
تَمْنَعُوْا
نِسَاءَكُمُ
الْمَسَاجِدَ
وَبُيُوْتُهُنَّ
خَيْرٌ
لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid;
akan tetapi shalat di rumah adalah lebih baik bagi mereka” [HR. Abu Dawud no.
567, Ibnu Khuzaimah no. 1683, Al-Hakim no. 755 dan yang lainnya; shahih
lighairihi].
Menerima ajakan suami.
Ini hukumnya wajib. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
إِذَا
دَعَا
الرَجُلُ
امْرَأَتِهِ
إِلَى
فِرَاشِهِ
فَأَبَتْ
أَنْ
تَجِيْءَ
لَعَنَتْهَا
الْمَلائكَةُ
حَتَى
تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat
tidurnya, namun istrinya tersebut menolak (tanpa udzur yang dibenarkan syari’at)
maka para malaikat akan melaknatnya hingga waktu shubuh tiba” [HR. Al-Bukhari
no. 5193 dan Muslim no. 1436].
Tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah kecuali dengan
seijin suami.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وَلَكُمْ
عَلَيْهِنَّ
أَنْ
لا
يُوْطِئْنَ
فُرُشَكُمْ
أَحَداً
تَكْرَهُوْنَهُ
“Sesungguhnya kalian (para suami) memiliki hak yang harus
dipenuhi mereka (para istri), agar mereka tidak mengijinkan seorangpun masuk ke
pembaringanmu seseorang yang tidak kamu sukai” [HR. Muslim no. 1218].
وَلا
تَأْذَنُ
فِيْ
بَيْتِهِ
وَهُوَ
شَاهِدٌ
إِلا
بِإِذْنِهِ
“Dan janganlah seorang wanita mengijinkan seseorang masuk
ke dalam rumah suaminya sementara dia (suami) ada di sana, kecuali dengan ijin
suaminya tersebut” [HR. Muslim no. 1026].
Larangan ini berlaku untuk orang-orang yang memang suaminya
tidak meridlainya. Namun bila orang tersebut termasuk orang-orang yang diridlai
– semisal kaum kerabat -, maka ia diperbolehkan menerimanya masuk ke rumahnya
dengan tetap menjaga kehormatan dirinya. Jika orang/tamu tersebut laki-laki
bukan termasuk mahram (semisal : teman kerja suami atau tetangga), maka ia
diperbolehkan untuk menerima dengan catatan aman dari fitnah dan menghindari
khalwat (berdua-duaan). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا
يَخْلُوَنَّ
رَجُلٌ
بِامْرَأَةٍ
إِلا
مَعَ
ذِيْ
مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita
kecuali bersama mahramnya” [HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341].
Namun lebih baik, wanita tersebut tidak menerimanya dan
menyuruhnya kembali setelah suaminya datang [1].
Tidak bersedekah dengan harta suami kecuali mendapat ijin
darinya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا
تُنْفِقُ
امْرَأَةٌ
شَيْئاً
مِنْ
بَيْتِ
زَوْجِهَا
إِلا
بِإِذْنِ
زَوْجِهَا
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah
suaminya kecuali seijin suaminya tersebut” [HR. Abu Dawud no. 3565, At-Tirmidzi
no. 670, dan Ibnu Majah no. 2295; shahih].
Berterima kasih kepada suami dan tidak mengingkari
kebaikannya, serta memperlakukan suami dengan baik.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا
يَنْظُرُ
اللهُ
إِلَى
امْرَأَةٍ
لا
تَشْكُرُ
لِزَوْجِهَا
وَهِيَ
لا
تَسْتَغْنِيْ
عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak
berterima kasih kepada suaminya, padahal ia tidak mungkin lepas dari
ketergantungan padanya” [HR. Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 9135; shahih].
Berterima kasih ini tidak hanya sebatas lisan, tapi
terwujud pada penampakan rasa bahagia dan nyaman selama mendampingi suami dan
melayani kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya, tidak mengabaikannya, tidak
mengeluh dengan segala kondisi yang dialami bersamanya, dan yang lainnya.
Tidak mengungkit-ungkit kebaikannya kepada suami, jika
kebetulan dia menafkahi suami dan anak-anaknya.
Adakalanya seorang suami diberi cobaan berupa sakit, cacat,
atau yang semisalnya sehingga ia tidak bisa memberi nafkah sebagaimana mestinya;
yang dengan itu istri menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah.
Haram hukumnya mengungkit-ungkit kebaikannya itu. Allah telah berfirman :
يَأَيّهَا
الّذِينَ
آمَنُواْ
لاَ
تُبْطِلُواْ
صَدَقَاتِكُم
بِالْمَنّ
وَالأذَىَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima)” [QS. Al-Baqarah : 264].
Selalu menjaga keutuhan rumah tangga dan tidak menuntut
cerai tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ
سَأَلَتْ
زَوْجَهَا
طَلاَقاً
مِنْ
غَيْرِ
بَأْسٍ
فَحَرَامٌ
عَلَيْهَا
رَائِحَةَ
الْجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa
ada masalah yang berarti (menurut kacamata syari’at), maka diharamkan baginya
wangi bau surga” [HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2209, Ibnu Majah no.
2055, Ahmad 5/277; shahih].
Dan lain-lain.
Dan ingatlah wahai para wanita bahwa engkau telah Allah
jadikan salah satu perhiasan dunia. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah
wanita shalihah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اَلدُّنْيَا
مَتَاعٌ
وَخَيْرُ
مَتَاعِ
الدُّنْيَا
الْمَرْأَةُ
الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia
adalah wanita shalihah” [HR. Muslim no. 1467].
Tanggung Jawab Istri pada Anak
Menyusui anak hingga usia dua tahun.
Allah berfirman :
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ
أَوْلاَدَهُنّ
حَوْلَيْنِ
كَامِلَيْنِ
لِمَنْ
أَرَادَ
أَن
يُتِمّ
الرّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” [QS. Al-Baqarah :
233].
Mengasuh, memperhatikan, dan memelihara anak dengan nafkah
yang diberikan oleh suami.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
memerintahkan kepada Hindun radliyallaahu ‘anhaa :
خُذِيْ
مَا
يَكْفِيْكِ
وَوَلَدَكِ
بِالْمَعْرُوْفِ
“Ambillah dengan baik (dari harta suamimu) sebatas
mencukupi keperluanmu dan anakmu” [HR. Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714].
Hadits ini mengandung faedah bahwasanya pemeliharaan anak
adalah dilakukan oleh ibu dari harta (nafkah) yang diberikan oleh suami.
[2]
Mendidik anak dengan pendidikan yang baik dan Islamy.
Hal pertama dan utama yang harus diberikan dan diperhatikan
adalah pendidikan agama, sebab pendidikan ini merupakan dasar yang akan
membentuk tingkah laku anak di kemudian hari. Penanaman aqidah tauhid yang kuat
adalah mutlak diberikan. Anak harus tahu kewajiban dan tugas mengapa ia
dilahirkan di muka bumi, yaitu untuk beribadah kepada Allah semata tanpa
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.[3]
Juga dengan penanaman prinsip-prinsip keimanan dalam rukun iman. Kemudian
diikuti dengan penanaman kewajiban yang termasuk dalam rukun Islam yang lain
seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Dari konsep pembangunan anak yang
beriman dan beramal shalih, tentu saja harapan kita kelak ia menjadi sesuatu
yang berharga yang dapat bermanfaat bagi kita di akhirat. Dan itulah yang
diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
إذَا
مَاتَ
الْإِنْسَانُ
انْقَطَعَ
عَنْهُ
عَمَلُهُ
إِلا
مِنْ
ثَلاَثَةٍ
إِلاَ
مِنْ
صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ
أَوْ
عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ
بِهِ
أَوْ
وَلَدٍ
صَالِحٍ
يَدْعُوْ
لَهُ
“Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya
kecuali tiga hal, yaitu : shadaqah jariyyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak
shalih yang mendoakannya” [HR. Muslim no. 1631].
Bukan menjadi satu larangan jika pendidikan agama telah
diberikan, si anak kemudian diberikan pendidikan keduniaan yang akan memberi
manfaat kepadanya dan kaum muslimin secara umum. Bahkan bisa jadi ilmu-ilmu
keduniaan ini merupakan fardlu kifayah bagi kaum muslimin. Pendidikan keduniaan
ini diperbolehkan jika tidak ada hal yang dilarang oleh syari’at. Contoh bagian
dari ilmu ini adalah ilmu pasti (sains), biologi, bahasa, dan yang lainnya.
Adapun ilmu keduniaan yang mengandung kesia-siaan dimana ia dibenci atau bahkan
diharamkan oleh syari’at seperti ilmu musik, menggambar makhluk hidup, ekonomi
kuffar (misalnya ilmu ekonomi berbasis riba), hukum kuffar (misalnya ilmu hukum
pidana, perdata, dan yang semisal yang bersumber dari hukum-hukum kuffar), dan
yang lainnya; maka ia tidak boleh untuk dipelajari.
Jika hal-hal tersebut di atas dapat dipahami dan
dilaksanakan oleh seorang istri dalam kehidupan rumah tangganya, satu faktor
penyebab terciptanya keluarga sakinah telah terpenuhi. InsyaAllah, hal itu dapat
sebagai pendorong terciptanya keluarga sakinah dalam kehidupan kita.
Akan tetapi, semua itu tentu akan terwujud jika seorang
ibu/istri benar-benar mencurahkan waktu, tenaga, dan perhatiannya di rumahnya.
Namun jika dzat sang ibu/istri tidak ada di rumah, maka bagaimana bisa ia
melaksanakan kewajiban terhadap dirinya, suaminya, dan anak-anaknya dengan
sempurna ? Dan malah kehadirannya digantikan oleh wanita lain yang sama sekali
bukan merupakan bagian dari keluarganya ? Maka di sini perlu kami sampaikan
bahwa : berbicara mengenai keluarga sakinah tidaklah akan lepas dari keberadaan
seorang wanita di rumah suaminya. Dan itu adalah mutlak. Adalah teori belaka
jika ada orang yang berkata : Yang penting kualitas, bukan kuantitas (pertemuan
anggota keluarga). Tidak ada satupun pakar psikologi atau konsultan keluarga –
setahu kami – yang mengatakan bahwa keberadaan seorang ibu/istri di luar rumah
adalah lebih baik bagi keluarganya (anak dan suaminya) dibandingkan berada di
dalam rumah. Sungguh, betapa banyak musibah ini menimpa pada keluarga-keluarga
muslim yang menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat dimana para ibu
tersibukkan oleh karir “membantu nafkah” [?] suami……
Bekerja dan mencari nafkah adalah kewajiban bagi suami.
Allah berfirman :
وَعلَى
الْمَوْلُودِ
لَهُ
رِزْقُهُنّ
وَكِسْوَتُهُنّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara yang ma’ruf” [QS. An-Nisaa’ : 34].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَاتَّقُوا
اللهَ
فِي
النِّسَاءِ
فَإِنَّكُمْ
أَخَذْتُمُوْهُنَّ
بِأَمَانِ
اللهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ
فُرُوْجَهُنَّ
بِكَلمَةِ
اللهِ
وَلَكُمْ
عَلَيْهِنَّ
أَنْ
لا
يُوْطِئْنَ
فُرُشَكُمْ
أَحَداً
تَكْرَهُوْنَهُ
فَإِنْ
فَعَلْنَ
ذَلِكَ
فَاضْرِبُوْهُنَّ
ضَرباً
غَيْرَ
مُبَرِّح
وَلَهُنَّ
عَلَيْكُمْ
رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوْفِ
“Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya
kalian telah ambil mereka dengan amanah Allah, dan kalian halalkan kemaluan
mereka dengan kalimat Allah. Dan bagimu ada hak yang harus mereka penuhi yaitu
agar mereka tidak mengijinkan seorangpun masuk ke pembaringanmu seseorang yang
tidak kamu sukai. Apabila mereka melanggarnya, maka pukullah mereka dengan
pukulan yang tidak menyakiti. Dan mereka memiliki hak yang harus engkau
tunaikan, yaitu mendapatkan rizki dan pakaian dengan cara yang baik” [HR. Muslim
no. 1218].
Jika suami telah memenuhi nafkahnya (sesuai dengan
kemampuannya), maka pada asalnya istri tidak boleh keluar rumah untuk bekerja,
karena (pada hakekatnya) apa yang ia butuhkan telah diberikan oleh suami. Istri
wajib qana’ah/menerima dengan lapang dada tanpa mengeluh dan merasa kurang
dengan apa yang telah diberikan suami. Hukum asal bagi seorang wanita adalah di
rumahnya (sebagaimana telah kami singgung sebelumnya).
Larangan untuk bekerja keluar rumah tanpa alasan syar’i ini
semakin keras jika suami melarangnya (dan istri tetap ‘nekad’ untuk keluar rumah
dan bekerja).
(-) Lantas, bagaimana jika suami mengijinkannya ?
Setidaknya, dalam hal ini ada 3 (tiga) keadaan :
Suami tidak mampu memberi nafkah karena sebab-sebab kauni
seperti sakit, cacat, dan yang semisalnya. Maka dalam hal ini boleh bagi istri
untuk bekerja di luar rumah dengan syarat-syarat tertentu (yang akan ditulis
kemudian). Bahkan bisa menjadi wajib baginya.
Suami mampu dan telah memberi nafkah kepada istri. Hal ini
diperinci :
Apabila pekerjaan istri adalah syar’i
[4] dan memenuhi syarat-syarat syar’i, maka diperbolehkan.
Syarat-syarat tersebut adalah (dan syarat ini juga berlaku
untuk nomor 1) :
a.1 Memenuhi adab wanita jika keluar rumah seperti :
berhijab/berpakaian syar’i
[5], tidak memakai wangi-wangian
[6], tidak bertabarruj (berdandan)
[7], dan menundukkan pandangan
[8].
a.2 Tidak ada percampuran antara laki-laki dan wanita
(ikhtilath). Allah telah berfirman :
وَإِذَا
سَأَلْتُمُوهُنّ
مَتَاعاً
فَاسْأَلُوْهُنّ
مِنْ
وَرَآءِ
حِجَابٍ
“Apabila kalian meminta pada mereka satu keperluan, maka
mintalah dari balik hijab” [QS. Al-Ahzab : 53].
a.3 Tidak berdua-duaan (khalwat) antara laki-laki dan
wanita. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا
يَخْلُوَنَّ
رَجُلٌ
بِامْرَأَةٍ
إِلا
مَعَ
ذِيْ
مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita
kecuali bersama mahramnya” [HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341].
a.4 Tidak menimbulkan fitnah. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
فَاتَّقُوا
الدُّنيَا
وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ
فَإِنَّ
أَوَّلَ
فِتْنَةِ
بَنِى
إِسْرَائِيْلَ
كَانَتْ
فِي
النِّسَاءِ
“Berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah pada
kaum wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah
karena wanita” [HR. Muslim no. 2742, At-Tirmidzi no. 2191, dan lainnya].
a.5 Tetap bisa mengerjakan kewajiban yang dibebankan kepada
dirinya dan keluarganya. Inilah kewajiban asasi bagi seorang wanita.
Jika memenuhi beberapa persyaratan di atas, maka ia boleh
bekerja. Jika tidak, maka tidak boleh.
Jika pekerjaan istri bukan pekerjaan syar’i, maka
keharamannya bertambah keras dibandingkan yang pertama .
Bagi para suami yang mengijinkan istrinya bekerja sementara
jenis pekerjaan bukanlah pekerjaan syar’i dan syarat-syaratnya pun tidak
terpenuhi, maka kedudukannya seperti yang disabdakan oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam :
ثَلاَثٌ
لاَ
يَدْخُلُوْنَ
الْجَنَّةَ
وَلاَ
يَنْظُرُ
اللهُ
إِلَيْهِمْ
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
الْعَاقُ
وَالِدَيْهِ
وَالْمَرأَةُ
الْمُتَرَجِّلَةُ
الْمُتَشَبِّهَةُ
بِالرِّجَالِ
وَالدَّيُوْثُ
“Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak
akan melihatnya pada hari kiamat : 1) Orang yang durhaka kepada kedua orang
tuanya; 2) Wanita yang menyerupai laki-laki; dan 3) Ad-Dayuts” [HR. Nasa’i no.
2562, Ahmad 2/134, dan lainnya; hasan].
Siapakah Dayuts itu ? Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam sendiri yang menjelaskan : {
الذي
يقر
في
أهله
الخبث}
“Yaitu suami yang membiarkan kejelekan/kemunkaran dalam keluarganya” [HR. Ahmad
2/69].
Suami mampu bekerja, namun ia tidak mau bekerja mencari
nafkah (malah bergantung pada istri).
Maka kedudukan suami seperti ini lebih jelek daripada
seorang Dayuts. Ia adalah pangkal kejelekan dalam rumah tangganya. Seorang istri
diberikan pilihan untuk tetap mempertahankan rumah tangganya atau mengajukan
khulu’ (gugatan cerai – karena tidak diberikan nafkah oleh suami – dengan
memberikan ‘iwadl/pengganti pada suami). Sebagian ulama mengatakan bahwa lebih
utama baginya untuk bersabar jika ia melihat perceraian mengakibatkan fitnah
yang lebih besar baginya dan anak-anaknya. Dalam kondisi seperti ini, ia
diperbolehkan untuk bekerja untuk mencukupi kebutuhannya (dengan tetap
memberikan nasihat kepada suami agar takut kepada Allah dan mau bekerja). Dia
tetap wajib untuk memperhatikan batasan-batasan syar’i yang telah ditetapkan
[9].
Selesai – Wallaahu a’lam bish-shawwab.
[Abu Al-Jauzaa’ – Blok D17/15 – 0815698***] – disampaikan dalam pengajian
ibu-ibu Perum Ciomas Permai.
Catatan kaki :
[1] Atau wanita tersebut menanyakan kepada si tamu apakah ada
pesan yang dapat ia sampaikan kepada suaminya (jika orang tersebut mempunyai
keperluan dengan suami) tanpa ia mempersilakan masuk ke rumahnya.
[2] Tapi bukan berarti suami tidak boleh berperan serta. Ini hanya
menjelaskan hukum asal saja. Adapun dalam kehidupan riil, maka kerjasama antara
suami dan istri sangat dibutuhkan dalam upaya mendekatkan jiwa antara ayah, ibu,
dan anak.
[3] Allah telah berfirman :
وَمَا
خَلَقْتُ
الْجِنّ
وَالإِنسَ
إِلاّ
لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku” [QS. Adz-Dzariyaat : 56].
[4] Seperti bidan, dokter khusus wanita, pengajar bagi wanita, pengasuh
anak, dan yang lainnya yang memang membutuhkan peran wanita secara khusus.
[5] Allah berfirman :
يَأَيّهَا
النّبِيّ
قُل
لأزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ
وَنِسَآءِ
الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ
عَلَيْهِنّ
مِن
جَلاَبِيبِهِنّ
ذَلِكَ
أَدْنَىَ
أَن
يُعْرَفْنَ
فَلاَ
يُؤْذَيْنَ
وَكَانَ
اللّهُ
غَفُوراً
رّحِيماً
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Ahzab : 59].
[6] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أَيُّمَا
امْرَأَة
اسْتَعْطَرَتْ
فَمَرَّتْ
عَلَى
قَوْم
لِيَجِدُوْا
مِنْ
رِيْحِهَا
فَهِيَ
زَانِيَةٌ
”Wanita mana saja yang memakai parfum lalu melewati satu
kaum agar mereka mencium bau harumnya, maka ia (sama saja) dengan seorang
pezina” [HR. An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 5126 dengan sanad hasan].
[7] Allah berfirman :
وَقَرْنَ
فِي
بُيُوتِكُنّ
وَلاَ
تَبَرّجْنَ
تَبَرّجَ
الْجَاهِلِيّةِ
الاُولَىَ
“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah
dahulu” [QS. Al-Ahzab : 33].
[8] Allah berfirman :
وَقُل
لّلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ
مِنْ
أَبْصَارِهِنّ
وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya” [QS. An-Nur : 31].
[9] Walau mungkin mengharuskannya tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban
rumah tangga secara sempurna karena alasan dlarurat. Kita berharap Allah
memberikan maaf pada kondisi seperti ini.
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini