Home »
Fiqih dan Muamalah
» Perkara Mubah Dengan Niat Ibadah
Perkara Mubah Dengan Niat Ibadah
Written By Rachmat.M.Flimban on Kamis, 22 Agustus 2013 | Kamis, Agustus 22, 2013
Perkara Mubah Dengan Niat Ibadah
Kategori: Fiqh
dan Muamalah
Alhamdulillah wa Shalatu wa Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Alihi wa As-habihi
Ajma’in. Amma ba’du,
Masalah niat adalah masalah yang sering kita perbincangkan, karena ia adalah
masalah yang sangat pokok dalam agama kita. Dengan niatlah sebuah amalan dapat
menjadi amalan yang pahalanya dapat sebesar Gunung Uhud dan demikian pula
sebaliknya sebuah amalan yang bernilai pahala sebesar Gunung Uhud dapat menjadi
amalan yang tidak bernilai pahala sedikitpun bahkan dapat membinasakan
pelakunya.
Masalah yang paling sering dibahas yang berhubungan dengan niat adalah bagaimana
suatu hal yang mubah dapat menjadi bernilai pahala di sisi Allah ‘Azza
wa Jalla. Untuk itulah pada kesempatan kali ini kami ketengahkan
pembahasan dari perkataan para ulama dalam masalah ini.
Syaikh Nadzim Muhammad Sulthan Rahimahullah dalam
kitabnya Qawaa’id
wal Fawaa’id min Al Arba’in An Nawawiyah mengetengahkan sebuah
sub-judul yang berkaitan dengan tema di atas. Beliau mengatakan, batasan penting
dalam hal yang berhubungan perpindahan suatu hal yang mubah menjadi hal yang
bernilai ibadah:
[1]. Tidaklah diperbolehkan menjadikan suatu hal yang mubah menjadi bentuk
ibadah secara dzatiyah atau semata-mata melakukan hal mubah tersebut
menjadi sebuah bentuk peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Semisal orang yang berjalan atau makan, berdiam diri atau mengenakan pakaian
menganggap semata-mata mengerjakan hal itu maka ia sudah terhitung melakukan
bentuk peribatan secara dzatiyah-nya.
Oleh karena itulah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam mengingkari Abu ‘Isra’il ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam melihatnya berdiri/berjemur di bawah panas
matahari. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bertanya mengapa ia melakukan hal itu, maka ada
seseorang yang mengatakan kepada Beliau Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bahwa Abu ‘Isra’il sedang memenuhi nadzarnya yaitu
berdiri, tidak duduk, tidak berteduh tidak berbicara ketika ia sedang puasa.
Lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam mengatakan,
مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلِيُتِمَّ صَوْمَه
“Panggillah dia
ajak bicara, berteduh, duduk dan katakana padanya untuk menyempurnakan/tetap
melaksanakan puasanya”[1].
[2] Hendaklah hal yang mubah tersebut merupakan jalan/washilah menuju
ibadah.
Ibnu Asy Syaath mengatakan, “Jika hal yang mubah diniatkan dalam rangka
memperkuat keta’atan atau merupakan jalan/washilah maka
hal-hal yang mubah tersebut akan bernilai ibadah, semisal makan, tidur, mencari
nafkah, harta ……”.
Al Izz bin Abdus Salam berpendapat bahwa, “Seorang muslim akan mendapatkan
pahala dari hal-hal di atas berupa pahala atas niatnya bukan perbuatannya”[2].
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Seyogya kita tidak melaksanakan perkara-perkara yang
mubah kecuali perkara mubah yang dapat membantu kita melaksanakan keta’atan atau
perbuatan mubah yang kita maksudkan untuk membantu kita dalam keta’atan”.
[3]. Hendaknya ketika melakukan hal yang mubah meyakini bahwasanya hal itu
merupakan bagian dari syari’at
Seyogyanya bagi setiap muslim ketika melakukan hal mubah meyakini bahwa Allah ‘Azza
wa Jalla lah yang memubahkan hal tersebut dan Allah menyukai jika
kita mengambil keringanan/rukhshah-Nya[3] sebagaimana
Allah menyukai kita mengerjakan keta’atan-keta’atan kepada-Nya. Demikian juga
Allah tidaklah menyukai kita bersikap mempersulit diri dalam perkara yang mubah[4].
Demikian juga Allah tidaklah ridha kita bersikap ghuluw/berlebihan
dalam hal yang mubah.
[diringkas dari kitab Qowaa’id
wa Fawaa’id min Al Arab’in An Nawawiyah oleh Syaikh Nadzim Sulthan
hal. 24 terbitan Darul Hijrah, Riyadh, KSA]
Dikutib dari Sumber Artikel Muslim.Or.Id
[1] HR.
Bukhari no. 6326
[2] Dari
sini dapat kita pahami bahwa jika kita melakukan perbuatan mubah sebagai washilah menuju/untuk
ibadah maka kita mendapatkan pahala dari Allah sebesar niatnya dan bukan
perbuatan yang diniatkan menjadi washilah tersebut.
Sebagai contoh seseorang yang meniatkan mencari nafkahnya untuk melaksanakan
kewajiban Allah untuk menafkahi kepentingan hidup anak dan istrinya maka yang
mendapatkan pahala/yang bernilai ibadah adalah niatnya tersebut dan bukan
perbuatan mencari nafkahnya, Allahu
a’lam.
[3] Dalam
hal ini yang dimaksud adalah perkara yang mubah.
[4] Karena
hal yang mubah adalah hal-hal yang dihalalkan Allah. Maka orang yang mengerjakan
suatu hal yang mubah ketika dia melakukan hal ini tertanam dalam
hatinya/diniatkan karena hal ini maka ia akan medapatkan pahala sebesar niatnya
tersebut.
Related Articles
Jika Anda menikmati artikel ini tinggal klik disini, atau berlangganan untuk menerima artikel terbaru .
0 komentar:
Posting Komentar
= > Silakan Berkomentar Sesuai Tema Diatas
=> Berkomentar Dengan Link Hidup Tidak Akan di Publish
=> Dilarang Berkomentar SPAM
=> Tinggalkan Komentar Sangat Penting Untuk Kemajuan Blok ini